Minggu, 27 Juni 2010

TAKDIRKU

Gerimis tak berhenti juga, ditambah dengan Tari yang sejak pulang dari sekolah tadi tak keluar-keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding hadiah dari temannya sudah menunjukkan pukul 17.15. Itu berarti adzan magrib semakin dekat.Tari kembali melirik buku bututnya. Aduh! Susahnya, ia membanting napas kesal isi buku yang dibacanya dari tadi belum masuk juga ke otaknya. Karena capek, ia selonjoran di kasur bunga mawarnya itu. Tapi ia malah teringat oleh mantannya. Ditariknya foto tu dari dompetnya. Huh, seandainya! Adu, dia melulu. Malas ah!Ia sekejap langsung menyembunyikan benda kenangannya dengan Audra itu di dompetnya. Bodohnya aku! Cewek berambut panjang hitam itu mengeluh, namun penyesalan yang menginjak-nginjak batinnya nggak pergi-pergi juga. Iih, Tari menggumam. Kenapa aku dulu menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa, kurang bersyukur? Atau, dia yang terlalu seperti anak kecil? Selengkapnya...

Rabu, 12 Mei 2010

PEMIKIRAN HASSAN HANAFI


TENTANG REKONSTRUKSI TASAWUF
Yayan Suryana
A.     Pendahuluan
Semua Muslim percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma ideal yang dapat diadaptasi oleh bangsa apa saja dan kapan saja. Ajaran Islam bersifat universal dan tidak bertentangan dengan rasio. Semua kaum Muslim harus selalu membangun peradaban yang bertumpu pada pesan-pesan abadi itu. Persoalannya, bagaimana semestinya mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban, kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial Islam yang dibangun atas universalitas itu?
Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut.
Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam. Hanafi mencoba merekonstruksi dimensi ajaran tersebut, mulai dari teologi, hukum, sosial kemasayarakatan sampai pada dimensi mistik Islam (Tasawuf ).
Makalah ini akan mengkaji kerangka pemikiran Hassan Hanafi dalam upaya merekonstruksi Tasawuf Islam.
B.     Latar Belakang Kehidupan Hassan Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo, dari keluarga musisi. Ia adalah seorang filosof dan teolog Mesir yang meraih gelar Sarjana Muda bidang filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1956. Kemudian, gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Sorbonne Paris dengan disertasinya berjudul "L Exegeses de la Phenomenologie Letat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application an Phenomene Religieux". Karya setebal 900 halaman itu mendapat penghargaan sebagai penulis karya ilmiah terbaik Mesir pada tahun 1961. Karya tersebut merupakan upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh ( Islamic Legal Teory) pada madzhab filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl. Pendidikan Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan aktifitas-aktifitas sosialnya. Hassan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.
Di dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko ( 1982-1984) dan menjadi Guru Besar tamu di Tokyo ( 1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985). Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987), dan sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 Hassan Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo.
Aktifitas di dunia akademik tersebut ditunjang dengan aktifitasnya di organisasi masyarakat. Tercatat, Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.
Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islami. Pemikiran yang terkenal dengan al-Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara.
Dalam Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) tersebut, Hassan Hanafi mendiskusikan bebarapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid) dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme merupakan keniscayaan bagi kemajuan dan kesejahteraan Muslim, disamping untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Ia memperingatkan pembacanya akan bahaya imperialisme kultural Barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang, secara kesejarahan, kaya. Ia mengusulkan "Oksidentlisme" sebagai jawaban "Orientalisme" dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu imperialisme, zionisme dan kapitalisme (dari luar) serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan (dari dalam). Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini.
Hassan Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Karena itu, meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, sebagaimana dikatakan Kazuo Shimogaki, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya. Sehingga, Shimogaki mengkategorikan Hassan Hanafi sebagai seorang pemikir medernis liberal. Karakteristik lain pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi pada dasawarsa 1960-an banyak dipengaruhi oleh paham-paham dunia yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik, sosialistik dan populistik, yang juga dirumuskan sebagai ideologi pan-Arabik. Baru pada akhir dasawarsa itu, Hanafi mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (at-taharrur, liberation). Ia mensyaratkan fungsi pembebasan , jika diinginkan Islam dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebutuhan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.
C.     Kerangka Metodologis Pemikiran Hassan Hanafi
Shimogaki menegaskan bahwa untuk memantapkan posisi pemikiran Hassan Hanafi dalam dunia pemikiran Islam dapat ditengarai dari tiga wajah, yaitu: Wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah Islam Iran menang, Ia meluncurkan Kiri Islam. Salah satu tugasnya ialah untuk mencapai revolusi tauhid (keesaan, pengesaan: konsep inti dalam pandangan dunia Islam). Dalam hal ini, ia dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali Syari’ati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran dan Imam Khomeini yang memimpin revolusi dengan sukses.
Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip dengan posisi Muhammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905). Sebagai seorang reformis tradisi Islam, Hassan Hanafi adalah seorang rasionalis sebagaimana Abduh.
Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani ( 1838-1896), pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai berjuang melawan imperialisme Barat dan mempersatukan dunia Islam. Hassan Hanafi menyebut perjuangannya dengan hal yang sama, yaitu perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.
Issa J. Boullata menegaskan bahwa pemikiran Hassan Hanafi tertumpu pada tiga landasan metodologi: Pertama, tradisi atau sejarah Islam; Kedua, metode fenomenologi, dan; Ketiga, analisis sosial Marxian.
Hassan Hanafi adalah salah seorang pemikir Arab yang sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat Materialisme-Historis dari Marx.. Dengan menggunakan metode dialektika, Hassan Hanafi mengadakan sistematisasi dan penyatuan semua aspek pengetahuan dan pengalaman serta menyusunnya ke dalam suatu keutuhan yang inklusif. Pemikiran Hanafi bisa disebut Marxis walaupun tidak harus menjadi marxisme. Dalam bentuknya yang paling sederhana, metode ini berpandangan bahwa proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis, dimana tesis menimbulkan antitesis dan keduanya akan diangkat menjadi sintesis.
Dalam bangun pikiran Hanafi, metode dialektik dipakai untuk menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam dan untuk menentukan titik pijak dan alasan dasar mengadakan suatu revolusi. Demikianlah revolusi harus dipandang sebagai panggilan sejarah.
Hassan Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai metode untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dengan bantuan metode itu, Hassan Hanafi mencoba melihat kembali sejarah perkembangan perjuangan Islam dengan berusaha melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional, yang menururt Hanafi selama ini mengandalkan pada otoritas teks dan bertumpu pada metodologi yang hanya mengalihkan teks ke dalam kenyataan.
Hassan Hanafi menemukan kelemahan yang mendasar dalam tradisi pemikiran Islam tradisional. Hanafi memberikan kritik terhadap metode ini, diantaranya bahwa teks bukanlah realitas; ia hanya sebuah teks. Teks adalah ekspresi mistik yang menggambarkan realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Teks bertumpu pada otoritas Kitab, bukan pada otoritas rasio. Otoritas Kitab bukan bukti, karena ada beberapa teks yang disakralkan, sementara di sisi lain ada realitas dan ada akal. Teks memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang ditunjuknya, yakni peristiwa yang ditandai teks. Tanpa interpretasi, teks menjadi tidak bermakna. Konsekuensinya, akan terjadi interpretasi teks di luar apa yang dimaksudkannya, dan terjadilah kesalahpahaman dan penggunaan teks di luar konteksnya.
Hassan Hanafi tidak mau berhenti pada teks, tetapi berusaha mencari hubungan relasional antara teks dan konteks. Tradisi dapat dipelajari dengan obyektifitas historis yang memadai dan dipisahkan tidak saja dari masa kini, tetapi juga dari faktor-faktor normatif yang diduga telah melahirkannya. Kerangka inilah yang membedakan tradisi pemikiran Mu’tazilah yang pure reason dengan metode berpikir Hassan Hanafi yang menghargai sisi historis sebagai sebuah proses yang dapat memberikan pemahaman yang inklusif tentang suatu pengetahuan.
Sebagai contoh dalam dimensi teologis dituangkan dalam bukunya Al-Din wa al-Tsaurah vol. IV. Di buku itu, Hanafi menunjukkan perjalanan peran agama dalam pergolakan politik di Mesir dari tahun 1952 sampai 1981. Selama periode hampir 30 tahun ini, ia membagi tiga tahap peran agama. Tahap pertama, agama dan revolusi (1952-1966). Tahap kedua, agama dan pembangunan masa depan (1961-1966). Tahap ketiga, kembali ke iman. Kemudian, Hanafi menggunakan dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang merupakan cara ilmiah untuk mengatasi keterasingan teologi itu sendiri.
Upaya tersebut tampaknya, secara profokatif, dilakukan Hanafi sebagaimana terlihat dalam sub-sub judul artikelnya: "Dari Tuhan ke Bumi", "Dari Keabadian ke waktu", "Dari takdir ke kehendak bebas", "Dari otoritas ke akal", "Dari teori ke tindakan", "Dari kharisma ke partisipasi masa", "Dari jiwa ke tubuh" dan "Dari eskatologi ke futurologi".
Cara yang sama juga diarahkan kepada sufisme yang dinilainya pasif, seperti dalam: "Dari jiwa ke tubuh", "Dari rohani ke jasmani", "Dari etika individual ke politik sosial", "Dari meditasi menyendiri ke tindakan terbuka", "Dari organisasi sufi ke gerakan sosial", "Dari nilai pasif ke nilai aktif", "Dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial", "Dari vertikal ke horizontal", "Dari langkah moral ke periode sejarah", "Dari dunia lain ke dunia ini" dan "Dari kesatuan hayal ke penyatuan nyata".
Disamping itu, gerakan peradaban dan kebudayaan Hanafi sangat dipengaruhi oleh ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas. Realitas, bagi Hanafi, adalah realitas masyarakat, politik dan ekonomi, khazanah Islam dan tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-cita revolusi Islam tergantung pada kecermatan menganalisis realitas-relaitas itu. Untuk menganalisis realitas-realitas itu dan memetakan semuanya, Hassan Hanafi menggunakan metode fenomenologi.
Hanafi meyakini pentingnya menggunakan metode fenomenologi sebagai pilihan metode yang tepat, sebagaimana ia jelaskan: "Sebagai bagian dari gerakan Islam Mesir dan sebagai seorang fenomenolog, saya tidak mempunyai pilihan lain untuk menggunakan metodologi fenomenologi dalam menganalisis Islam alternatif di Mesir."
D.    Ide Rekonstruksi Tasawuf
Kiri Islam menolak tasawuf serta memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin. Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, arogansi, gila kekuasaan dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Maka, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.
Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh umat --Islam pun-- menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (al-ittiha>d) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia.
Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yang dikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan). Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yang tak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu.
Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia" (khaira ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernah lahir dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik. Adapun ekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban untuk menegaskan misi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan syariat Islam dan membumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaum Muslim dalam sejarah.
Atas pertimbangan diatas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf. Hanafi mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifat tradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali atas ilmu-ilmu rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasil menampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad V Hijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyah yang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjang masa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan modern.
Manurut Hanafi, tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upaya untuk menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikan dalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagi sentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi oleh manusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi.
Bagi Hanafi, tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina adi dunia kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakan suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis dan tahap metafisik. Hanafi kemudian melakukan rekonstruksi tasawuf dalam ketiga hal tersebut.
Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap moral mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan awal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Dari rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda, karena realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas lahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yang dipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunia lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c). Dari etika individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknya individu. Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu; d). Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara memperoleh kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun berpendapat secara individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia sekarang tindakan terbuka sangat diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik.
Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasawuf tidak lagi berhubungan dengan tindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan. Fokusnya bukan lagi pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati. Kini, tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati. Ilmu ini terdiri dari dua bagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal). Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktif dan dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada tahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah melewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga ini benar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai dan hadiah yang harus diterima.
Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebut tercapai dibumi. Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Dari vertikal ke horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yang tertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelah dikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untuk turun ke bumi. Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai kembali dunia. Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud untuk dekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-tindakan ini muncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempat-tempat lain. Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan ini mungkin bersifat konklusif dan produktif. Jika gerakan di jalan sufi bermula dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu ke yang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermula dari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke luar (pencapaian). Jika bumi pada masa kelahiran tasawuf putus asa dan diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang mencoba menaklukkkan bumi lagi. Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi. Tanah mesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untuk dekolonisasi atau untuk bekerja; b). Dari langkah moral ke periode sejarah. Karena langkah-langkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan, mungkinkah menyusun langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yang progresif? Dalam tasawuf, terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan.: mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikuti pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapan memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan depan-belakang; c). Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakan reaksi terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakan tempat perlindungan yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dan kebatilah di dunia. Karena kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada, maka yang saleh pun meninggal dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadi yang kekal bagi mereka. Namun demikian kondisi modern ini lebih banyak berhubungan dengan kehidupan daripada kematian. Kondisi ini lebih banyak berhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah pembangunan urban kota-kota besar; d). Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Akibat kekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahan antara cita-cita dan kenyataan. Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapan dan impian yang diteruskan di dalam tasawuf. Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini, yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alam dan sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuan yang berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam. Mengapa tidak beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan ke penyatuan nyata masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisial yang dihadapi sebagai upaya peralihan dari era kolonial? Jawabannya, metafisik kesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mecapai kesatuan sebagai tujuan politik. Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangka konseptual bagi Pan-Islamisme.
E.     Catatan Akhir
Dilihat dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yang dilakukan Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi. Pemikiran ini tampaknya lahir dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yang sedang terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan.
Sebagai cendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup dalam antara wilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat.
Hanafi dengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalam dunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual. Namun demikian, Hanafi tidak semata-mata memakai analisa filsafat materialisme. Ia juga menggunakan analisis kesejarahan dunia Islam, sehingga secara jujur dapat mengungkap fakta-fakta dan relasinya untuk melakukan rekonstruksi.
Tampaklah dengan jelas, bahwa Hassan Hanafi sangat kental keterpengaruhannya dengan tradisi pemikiran Barat. Hal ini wajar terjadi, seperti bisa dijumpai pada gagasannya sendiri tentang "Oksidentalisme". Penggunaan tradisi filsafat Barat ini, selanjutnya Hanafi jadikan sebagai alat untuk mengoreksi dan mengkritik kelemahan Barat. Bagi Hanafi, tantangan umat Islam adalah bagaimana mengembangkan dunia Islam melalui tradisi-tradisinya sendiri, yang meliputi tasawuf, dan tidak melalui ideologi-ideologi yang sekuler seperti Marxisme, sosialisme, nasionalisme, liberalisme dan sebagainya.
Islam bukan berarti ketundukan atau penghambaan, melainkan lebih merupakan revolusi transendensi, yakni sebuah struktur yang dinamis untuk kesadaran individu, untuk tatanan sosial dan untuk kemajuan dalam sejarah.
AL-IJTIHAD AL-MU’ASHIR : PARADIGMA PENGEMBANGAN
PEMIKIRAN ISLAM DI MUHAMMADIYAH
Oleh : Anjar Nugroho
  1. PENDAHULUAN
Harus jujur diakui, meski telah memproklamirkan sebagai gerakan modernis-substansialis di Indonesia, tetapi masih tampak kegagapan dan kegamangan Muhammadiyah dalam mengaitkan doktrin agama dengan persoalan publik. Seperti tampak secara jelas (sering) keterlambatannya dalam merespon persoalan-persoalan politik, sosial, dan budaya yang berkembang begitu cepat. Di sisi lain, bahkan ada kecenderungan Angkatan Muda Muhammadiyah tengah mengembangkan wacana intelaktual “formalisme Islam”1), yang tampak seperti gerakan “back to salaf”, dan gerakan jilbabisasi yang marak di kampus-kampus Muhammadiyah.
Dari semula, paham keagamaaan Muhammadiyah selalu mengaitkan dan mempertautkan dimensi ajaran ke sumber al-Qur’an dan Sunnah yang shahih dengan dimensi ‘Ijtihad’ dan ‘Tauhid’ dalam satu kesatuan yang utuh. Ibarat sebuah mata uang logam, paham keagamaan tersebut memiliki dua permukaan, yakni dua sisi permukaan yang dapat dibedakan antara keduanya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Begitu pula hubungan antara adagium ‘kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah’ pada satu sisi dengan adagium lain yakni ‘ijtihad’dan ‘tajdid’. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Jika keduanya sampai terpisah atau sengaja dipisahkan maka paham keagaman tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai predikat paham keagamaan Muhammadiyah. Menurut Amin Abdullah, dalam studi agama-agama, pemahaman dan pendekatan yang bersifat utuh komprehenshif tersebut disebut pendekatan yang bersifat scientific cum doctrinaire.2)
Tetapi sekali lagi, selama ini Muhammadiyah telah terjebak dalam kubangan puritanisme yang akut, sehingga adagium ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah hanya semata-mata terkait dengan persoalan ibadah mahdlah, untuk tidak mengatakan hanya terfokus pada persoalan-persoalan fiqih. Tidak mencoba untuk dikembangkan dalam arti yang lebih luas dan fundamental yakni back to the principle of Qur’anic ethical values. Dan ‘ijtihad’ di Muhammadiyah hanya terkait dengan isu-isu hukum agama atau hukum-hukum fiqih an sich dan tidak melebar pada al-ulum al-kauniyyah dan al-hayat al-insaniyyah.3)
Kecenderungan konservatisme dalam alam pikiran Muhammadiyah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keterjebakan Muhammadiyah terhadap aktivisme yang cenderung memperluas demografi dan keanggotaan4). Aktivisme tersebut mengakibatkan para aktivis Muhammadiyah terlalu bersifat politis-idiologis dan apologis ketimbang berfikir secara reflektif-kontemplatif dan folosofis. Kedua peran Majlis Tarjih sebagai thik-thank Muhammadiyah terlalu bersifat fiqh-oriented dan tekstual normatif. Kecenderungan ini telah menafikan konteks perkembangan jaman dan perubahan sosial yang menghajatkan suatu pola pemikiran keislaman yang asumtif-probabilistik-pluralis. Ketiga, di tingkat aplikasi praktis, muncul truth claim dari pensakralan produk-produk Majlis Tarjih seperti Himpunan Putusan Tarjih (HPT) terhadap masalah-masalah muamalah. Keempat, belum meluasnya tradisi berfikir empirik di kalangan para anggota Majlis Tarjih5).
  1. IJTIHAD AL-MU’ASHIR : SEBUAH PENDEKATAN
Dalam wacana klasik, secara bahasa ijtihad berarti antara lain “kesungguhan” mencurahkan segala kemampuan”, dan “menanggung beban”. Al-Ghazali6) mengatakan bahwa ijtidah adalah :
Dari pengertian ijtihad yang dikatakan al-Ghazali di atas, dapat dipahami bahwa lapangan ijtihad hanya terbatas pada mengeluarkan hukum syara’ yang bersifat praksis dan yang merujuk kepada nash peringkat dzanni. Tetapi apakah wilayah ijtihad sesempit itu?
Dr. Yusuf al-Qordlawi termasuk salah seorang ulama terkemuka saat ini yang tidak membatasi ijtihad dengan tema terbatas hukum syara’, tetapi melebar pada persoalan-persoalan ijtima’iyah (kemasyarakat), iqtishadiyyah (ekonomi) dan siyasah (politik)7). Labih lanjut, dia menjelaskan bahwa ijtihad pada zaman modern ini merupakan sebuah kebutuhan, bahkan suatu keharusan bagi masyarakat Islam. Sambil merujuk pada pendapat Imam Hambali, Qordlawi berpendapat bahwa tidak boleh pada suatu masa vakum dari seorang mujtahid yang dapat dijadikan rujukan oleh masyarakat dalam persoalan-persoalan yang muncul di tengah-tengah mereka.
Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa ijtihad adalah prinsip ‘gerak dalam Islam’, sambil mengutip Ibn Taimiyyah yang mengatakan bahwa al-haqiqatu fi al-a’yan la fi al-‘addzan (kebenaran terletak pada realitas, bukan pada konsepsi-konsepsi akal semata). Memang kemudian timbul pertanyaan, gerak macam apa yang dimaksud ? Apakah gerak tersebut berlaku semata-mata untuk hukum-hukum fiqih atau juga untuk berbagai aspek kehidupan?
Lebih lanjut Amin Abdullah mengelaborasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan melontarkan pertanyaan kritisnya, yakni mana yang perlu diprioritaskan ? Apakah back to the principle of Qur’anic ethical values yang dalam hal ini menggunakan pendekatan aksiologis, atau apakah pendekatan ushuliyyah al-bayaniyyah lewat qaidah ushuliyyah ? Atau kedua-duanya memang sama-sama penting, tetapi mempunyai wilayah kerja masing-masing?9)
Back to the principle of Qur’anic ethical values (pendekatan aksiologis) mempunyai ruang lingkup dan wilayah kerja yang bersifat universal inklusif, sedangkan pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah hanya mempunyai wilayah yang berrsifat partikular-eksklusif, yakni diperuntukkan khusus bagi kalangan sendiri. Lalu bagaimana hubungan yang proporsional antara keduanya ? Itu karena umat Islam selain hidup dalam dan dengan komunitasnya sendiri, mereka juga hidup dengan komunitas lain dalam era kemajemukan (pluralitas)10).
Pertanyaan-pertanyaan dari Amin Abdullah di atas dinilai sebagai sebuah kegelisahan intelektual paling awal sebelum memulai langkah konseptual untuk menggagas pendekatan baru dalam ijtihad Muhammadiyah. Sebenarnya langkah menuju ke sana sudah dirintis oleh beberapa kalangan kritis di Muhammadiyah, sebagai contoh terlontarkannya tiga corak pendekatan dalam mengembangkan pemikiran Islam di Muhammadiyah, yaitu pendekatan bayani, burhani dan irfani. Memang ketiga model pendekatan tersebut bukan gagasan genuine dari dalam Muhammadiyah, tetapi terambil dari konsep kritik nalar Arab al-Jabiri. Tetapi satu hal yang bebeda dengan al-Jabiri yaitu penerapan ketiganya yang tidak terpisah-pisah melainkan sebagai satu pola hubungan yang sirkuler. Amin Abdullah sendiri menamai teori tersebut dengan at-Ta’wil al-Ilmi.11)
Akan tetapi agaknya jalan ke arah metode baru ijtihad Muhammadiyah masih memerlukan perjuangan panjang. Dalam munas Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam beberapa waktu lalu di Padang, metode baru yang dirintis Amin Abdullah dkk. agaknya mengalami hambatan, karena sebagian peserta masih enggan dengan metode irfani menjadi salah satu metode atau pendekatan dalam berijtihad di Muhammadiyah, sungguh sebuah kesenjangan intelektual yang perlu untuk segera diretas.
Sebagai perbandingan akan penulis sampaikan ringkasan metode dan pendekatan ijtihad yang selama ini dipakai Muhammadiyah. Dalam Putusan Munas Tarjih XXIV majlis Tarjih dan pengembanganm pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah dinyatakan bahwa ijtihad adalah ‘Mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam baik bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu”12).
Sedangkan metode atau pendekatan yang dipakai dalam berijtihad, sesuai dengan keputusan Munas Majlis Tarjih PP Muhammadiyah XXIV di Malang, disepakati sebagai berikut : a) bayani (semantik), yaitu metode yang menggunakan pendekatan kebahasaan b) ta’lili (rasionalistik), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan penalaran; c) istishlahi (filosofis), yaitu metode penetapan hukum yang menggunakan pendekatan kemashlahatan.13)
Secara prinsip apa yang menjadi prinsip ijtihad Muhammadiyah tidak jauh berbeda dengan apa yang juga menjadi prinsip berijtihad Yusuf Qardlawi, masing-masing masih memiliki keterikatan dengan ijtihad terdahulu, khususnya dilihat dari metodenya. Hanya saja keduanya tidak mengikatkan diri pada madzab tertentu dan terikat pada syarat-syarat mujtahid, sebagaimana telah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh. Pada sisi lain, keduanya menonjolkan aspek kemashlahatan umat atau maqashid al-Syar’iyyah.14)
Dari paparan metode atau pendekatan ijtidah dalam Muhammadiyah dapat dilihat begitu kentalnya pendekatan qa’idah bayaniyyah-ushuliyyah yang bercorak pertikular-eksklufif sehingga sulit untuk bisa mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat lintas agama dan keyakinan. Padahal persoalan-persoalan yang bersifat lintas agama itu sangatlah mendesak untuk diselesaikan mengingat banyaknya persoalan bangsa yang berbasis hubungan antar agama.
Kritik kedua berkaitan mode ijtihad Muhammadiyah di atas adalah adanya asumsi bahwa sebagian hasil ijtihad ulama masa lampau adalah sudah final (qath’iy). Padahal pemikiran keagamaan bersifat open ended, terbuka, terus menerus dapat diperdebatkan, dipertanyakan, dikoreksi dan diangun kembali. Para ahli keislaman kontemporer mengatakan bahwa pemikiran keagamaan tidak boleh disakralkan atau disucikan. Begitu ia disakralkan atau disucikan, tanpa disadari ia berubah menjadi idiologi yang bersifat tertutup. Begitu ia tertutup, akan sangat sulit berkomunikasi dan berdialog dengan bentuk pemikiran-pemikiran sejawat yang lain.
Untuk itu perlu pendekatan baru dalam melakukan ijtihad di Muhammadiyah. Jangan sampai kritikan berbagai kalangan terhadap kelambanan pihak Islam dalam merespon persoalan zaman, seperti ketidakmampuan organisasi-organisasi Islam dalam menangani nasib TKI, diabaikan begitu saja. Sepertinya agama dipahami sebagai ajaran yang mengurusi masalah keagamaan an sich (baca : masalah-masalah fiqih), sedangkan masalah-masalah kemanusiaan dan kekinian (al-mu’ashir) dianggap bukan tanggung jawab agama.
Pendekatan dan metode baru ijtihad itu meliputi pemakaian alat-alat analisis yang tidak semata-mata berasal dari ulum ad-din, seperti ulum al-Qur’an, ulum al- Hadis maupun ushu al-fiqh, tetapi juga melibatkan ulum al-ijtima’iyyah (ilmu-ilmu sosial dan humaniora) seperti sosiologi, antropologi, sejarah, politik bahkan ulum al-lughawiyah al-mu’ashirah (ilmu-ilmu bahasa kontemporer). Dengan itu diharapkan akan ada warna baru baik dalam kerangka proses maupun hasil ijtihad. Disamping itu persoalan yang disentuh dalam proyek ijtihad meliputi segala aspek kemodernan yang memang membutuhkan jawaban-jawaban etis-normatif ajaran Islam. Ketidakpekaan agamawan dalam menyoroti masalah kemanusiaan adalah bentuk lain dari pemberian legitimasi terhadap pelanggaran kemanusiaan.
Jika agama terlambat dalam menangani dan mengatasi masalah kemanusiaan, agama akan mengalami dua masalah bersamaan15) : Pertama, agama akan manja dalam kemapanannya. Agama akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak perlu melihat ke bawah. Agama akan selalu suci dalam kapasitasnya sebagai wahyu, bukan seperangkat nilai yang semestinya menyapa kemanusiaan. Kedua peran agama akan semakin sempit hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan agama tidak berarti apa-apa dalam panggung sejarah manusia.
Untuk itu Ijtihad dalam Muhammadiyah harus terkait dengan proyek untuk mendefinisikan posisi agama dengan tanggungjawab kemanusiaannya. Agama harus keluar dari persembunyaiannya di ruang privat yang sepi dan hening dan harus tampil keluar di arena publik yang ramai dengan berbagai masalahnya.
  1. IJTIHAD AL-MU’ASHIR : SEBUAH CONTOH PERSOALAN
a.  Muhammadiyah dan pluralitas Agama
Berikut ini akan dipaparkan sebuah persoalan yang secara real ada dalam panggung sejarah kehidupan di mana Muhammadiyah melakukan aktifikas pergerakannya. Masalah pertama adalah bagaimana sikap Muhammadiyah dalam merespon persoalan pluralisme agama di Indonesia sedangkan masalah kedua adalah bagaimana Muhammadiyah berinteraksi dengan budaya lokal.
A. N. Wilson (1989)16), seorang jurnalis, dalam bukunya yang sangat sinis terhadap agama, Agains Religion : Why The Should Try to Live Without It (Melawan Agama : Mengapa Kita Harus Mencoba Hidup Tanpa Dia), mengatakan bahwa agama adalah tragedi umat manusia. Ia mengajak yang paling luhur, paling murni, paling tinggi dalam jiwa manusia, namun hampir tidak ada sebuah agama yang tidak ikut bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan peperangan. Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat, tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain. Untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.
Wilson dalam buku tersebut menunjukkan dilema dalaam konflik-konflok antar agama, yang jika diringkas, jika seseorang dalam sebuah agama konflik dengan orang lain yang berbeda agama akan dianggap sebagai “sebuah tindakan kebenaran melawan kedhaliman”. Sedang jika orang itu ada di agama lain yang dilawan itu, maka dia akan mengganggap sebaliknya, agamanya sendiri sebagai yang benar, melawan agama lawannya itu sebagai yang salah, yang dhalim. Tetapi jika seseorang berada di luar dua agama yang sedang konflik itu, ia akan melihat keduanya da dalam kesesatan, dan ia akan menganggap konflik yang sama-sama menggunakan klaim kebenaran itu sebagai kenaifan, karena jelas keduanya salah.
Wilson menggambaran bahwa agama yang ada dalam kenyataan itulah yang sering mewarnai konflik-konflik antar agama sepanjang zaman hingga hingga dewasa ini. Seorang beragama bisa mengatakan bahwa yang salah adalah yang beragama itu, yang tidak mengerti arti agamanya itu. Tetapi Wilson menjawab, “Kalau agama itu yang benar, namun tidak mampu mempengaruhi pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun tidak bisa mempengaruhi pemeluknya?”. Tentu hal itu menjadi sebuah pertanyaan retorik yang menggugah kearifan jawaban dari seorang penganut agama.
Dari gugatan Wilson di atas umat dapat merefleksikan apa yang bisa terjadi jika agama menjadi tertutup dan penuh kemunafikan. Lalu mengklaim kebenaran sendiri dengan mengirim ke neraka agama yang lain inilah yang menimbulkan problema yang studi agama-agama sebagai “masalah klaim kebenaran” (the problem of truch claim).
Nurcholish Madjid (1999)17), cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia menawarkan sebuah teologi alternatif yang dia namai teologi pluralistik. Dalam defininisinya yang fundamental, teologi pluralistik adalah percaya bahwa seluruh kepercayaan agama lain ada juga dalam agama kita (all religions are the some different parths leading to some goal). Pada dasarnya semua agama adalah sama (dan satu), walaupun mempunyai jalan yang berbeda-beda untuk suatu tujuan yang sama dan satu. Dalam al-Qur’an, misalnya diilustrasikan bahwa semua Nabi dan Rsul itu adalah Muslim (orang yang pasrah kepada Allah). Semua agama para Nabi dan Rasul itu adalah Islam (berserah diri secara total kepada Allah). Sementara Islam par exellence adalah bentuk terlembaga dari agama yang sama, sehingga semua agama itu sebenarnya adalah satu dan sama. Perbedaannya hanyalah dalam bentuk syariah. Dalam bahasa keagamaan inilah yang disebut “jalan”. Semua agama adalah “jalan” kepada Tuhan. Di dalam al-Qur’an istilah jalan diekspresikan dengan banyak kata, sesuai dengan maknanya yang memang plural, adanya banyak jalan itulah yang dipakai al-Qur’an, seperti shirat, sabil, syari’ah, thariqah, minhaj, mansak (jamaknya manasik) dan maslak (jamaknya suluk).
Semua istilah seorang-olah menggambarkan bahwa jalan dalam beragama kelihatan tidaklah satu, tetapi banyak, dan sangat tergantung pada masing-masing pribadi yang mempunyai idiom sendiri-sendiri mengenai bagaimana beragama. Tetapi sesungguhnya jalan itu satu, tetapi jalurnya banyak. Inilah prinsip yang menggambarkan kesatuan dalam keanekaragaman. Misalnya dalam al-Qur’an Surat al-Maidah/5:16, Allah berfirman :
“Dengan itu Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang mengikuti keridlaan-Nya menuju jalan kedamaian dan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, -dengan izin-Nya dan menunjuki mereka jalan yang lurus.”
Dalam ayat tersebut tidak dipakai kata sabilassalami tetapi dalam jamak (plural) subulassslami (berbagai jalan). Sehingga kira-kira tafsirnya, “Mereka yang sungguh-sungguh mencari jalan-Ku (ridla-Ku), pasti Kami akan tunjukkan berbagai jalan-Ku.”
Di tengah keragaman atau pluralitas keberagamaan pada masa kenabian Muhammad, tidaklah menghalangi beliau untuk mengembangkan sikap-sikap toletansi antar pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Bahkan, Muhammad pernah memberi suri tauladan yang sangat inspiring dihadapan para pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa, Nabi pernah dikucilkan dan bahkan diusir dari tumpah darahnya (Makkah). Beliau terpaksa hijrah ke Madinah untuk beberapa lama dan kemudian kembali ke Makkah. Peristiwa itu dikenal dalam Islam dengan fathul Makkah. Dalam peristiwa yang penuh kemenangan ini, Nabi tidak menggambil langkah balas dendam kepada siapapun juga yang telah mengusirnya dahulu dari tanah kelahirannya. “Antum Tulaqa (kamu sekalian bebas)”, Begitu ucapan Nabi kepada mereka.19)
Peristiwa itu sangat memberi inspirasi dan memberi kesan yang mendalam terhadap penganut agama Islam di mana pun mereka berada. Nabi telah memberi contoh kongkret dan sekaligus contoh pemahaman dan penghayatan pluralisme keagamaan yang amat riel dihadapan umatnya. Tanpa didahului polemik pergumulan filosofis-teologis, Nabi tidak menuntut “truth claim” atas nama dirinya maupun atas nama agama yang dianutnya. Dia mengambil sikap agree in disagreement (al-Qur’an s. al-Takatsur : 1-8), dia tidak memaksakan agamanya untuk diterima oleh orang lain (al-Qur’an s. al-Kafirun : 1-6).
Etika Islam, sebagaiman telah disebut oleh George F. Hourani (1985), adalah sifat “Ethical Voluntarism”, sebenarnya mengandung dimensi historisitas keteladanan (uswatun hasanah) yang terpancar dari perilaku Nabi Muhammad SAW. Etika pemihakan terhadap fundamental values kemanusiaan sangat dijunjung tinggi oleh penganut Islam. Memihak kepada fundamental values, aturannya, berarti menepikan segala macam sekat-sekat teologis yang selama ini telah terkristal dan terbentuk oleh perjalanan hidup sejarah kemanusiaan itu sendiri dalam perspeksif Islam, konsepsi etika keberagamaan, khususnya yang menyangkut hubungan antar umat beragama, adalah bersifat sangat terbuka dan dialogis. Panggilan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antar berbagai penganut ahli kitab adalah tipikal model panggilan al-Qur’an.20)
Menciptakan kondisi ideal untuk mencapai titik temu antar umat beragama adalah merupakan kepentingan semua pihak dan tanggung jawab bersama. Beban itu sepenuhnya tidak dapat dipikul oleh umat Islam atau Protestan atau oleh pihak-pihak umat Katholik dan lain-lain secara sepihak. Hal demikian juga terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi terutama yang terkait langsung dengan deklarasi “konstitusi Madinah” yang oleh Robert N. Bellah (1965) disebut sebagai deklarasi “modern” yang muncul sebelum peradaban manusia yang benar-benar modern timbul.21)
Dalam perspektif Islam, dasar-dasar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang pluralistik secara religius, sejak semula, memang telah dibangun di atas landasan normativ dan historis sekaligus22). Jika ada hambatan atau anomali-anomali di sana sini, penyebab utamanya bukan karena inti ajaran Islam itu sendiri yang bersifat intoleran atau eksklusif, tetapi lebih banyak ditentukan dan dikondisikan oleh situasi historis-ekonomis-politis yang melingkari komunitas umat Islam di berbagai tempat. Kompetisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, hegemoni kekuasaan, jauh lebih mewarnai ketidak-mesraan hubungan antar pemeluk beragama dan bukannya oleh kandungan ajaran etika agama itu.
Untuk itu sumbangan pemikiran yang perlu disampaikan kepada Muhammadiyah terkait dengan realitas pluralistik yang seringkali menimbulkan konfik antar-agama yang sangat akut adalah bagaimana menjadikan teologi pluralistik sebagai teologi baru (new teology) agar klaim-klaim kebenaran dapat terhapus dalam cara pandang warga Muhammadiyah. Dan tidak klah pentingnya adalah bagaimana Muhammadiyah sebagai institusi gerakan gerakan Islam mampu berbuat banyak dalam mengatasi konflik agama yang telah mengoyak persatuan dan persaudaraan bangsa.
Sedikitnya, ada dua langkah yang bisa dilakukan dalam kerangka pencegahan dan penanganan konflik antar agama. Satu, mengubah cara pandang umat terhadap agama dari citra yang impersonal menuju citra yang personal. Dari sesuatu yang simbolistik menjadi sesuatu yang substantif. Karena, memang, hal yang paling esensial dari keberadaan suatu agama bukanlah penyelenggaraan ritus-ritus dan upacara praksis keagamaan lainnya; melainkan bagaimana nilai-nilai keluhuran, keadilan, kemanusiaan, rahmat dan kedamaian -yang notebene merupakan pesan pokok turunnya agama itu sendiri-bisa teraplikasi dalam keseharian para pemeluknya. Dalam wawasan agama Islam misalnya, Allâh Swt. Berfirman: “Dan bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah [kabah] dari pintu belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang yang bertakwa ” (Qs. 2; 189).
Agama bukanlah sekumpulan doktrin yang mati, statis, simbolis, ataupun utopis. Agama harus benar-benar dipahami sebagai kesatuan nilai-nilai tersebut di atas yang amat personal dan realistis. Sebab itulah penghayatan keagamaan yang baik bisa dilihat dari amal perbuatan, moralitas, serta praktek kehidupan sosial setiap umat.
Dua, mengembangkan dialog antar umat beragama. Sejauh ini, wacana dialog antar agama cenderung menjadi konsumsi kalangan elit umat beragama saja. Sementara pada tingkatan grass root umat, wacana ini relatif asing. Padahal, potensi konflik antar umat beragama justru menguat pada level akar rumput. Maka diperlukan pengembangan wacana dialog antar agama dengan lebih intens lagi melibatkan kalangan grass root umat.
Pada tahap awal, dialog tersebut bisa berupa kajian masing-masing umat terhadap ajaran agamanya tentang persaudaraan, kemanusiaan, interaksi antar umat beragama, dst. Karena toh pada setiap agama itu terdapat nilai-nilai universal yang bisa menyatukan persepsi setiap pemeluk agama yang berbeda akan hubungan sosial yang sehat dan wajar. Dan pada tahapan berikutnya, umat dari agama yang berbeda tersebut bisa mulai membicarakan permasalahan yang mereka hadapi secara bersama-sama, dalam format “kita” semua berbicara tentang “kita”. Bukan lagi dalam format “kami” berbicara tentang “kalian”.
b. Masalah Kearifan Muhamadiyah Atas Budaya Lokal
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo23), agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32)24) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.
Akan tetapi Kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara berfikir (habits of mind) masyarakat.25)
Lalu akhir-akhir ini dapat melihat, misalnya, kelompok umat yang mempunyai orientasi keagamaan Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Penulis tidak tahu apakah Haddad Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau dilihat lagu-lagunya (misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha) sungguh luar biasa. Itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai instrumen budaya dan hasilnya sangat efektif.
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, diperlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.26)
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik).27)
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.
Dari kerangka berfikir di atas, dapat dipakai untuk menilai sekaligus memaknai fenomena budaya yang ada di masyarakat yang selama ini dibid’ahkan oleh Muhammadiyah, ruwahan, nyadran, sekaten tahlilan, selamatan, berjanjen, kholdan puji-pujian. Dalam bahasa Kuntowijoyo inilah gejala gerakan kebudayaan baru Muhammadiyah yang tanpa kebudayaan lama.28)
Semua tradisi yang tersebut diatas, pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.29)
Hanya saja yanag perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.
Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai (kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai suatu simbol (pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang menyertainya. Nah, kita dapat menilainya (benar atau salah) dari pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol agar perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena pengaruh pemikiran Barat (baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-hukum halal haram.
§ Makalah disampaikan dalam Tadarrus Pemikiran Islam yang diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 18-20 November 2003 di Universitas Muhammadiyah Malang
§ Penulis adalah koordinator Pusat Kajian Islam & Peradaban “Islamadina” Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Alumni Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah Periode 1998-2000. Lahir di Demak 8 Oktober 1975, pernah nyantri di Pondok Pesantren Muhammadiyah Kudus tahun 1992-1994, menyelesaikan studi S1 di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1999.
DAFTAR PUSTAKA
A.N. Wilson, Againt Religion, Why The Should Try to Live Without It, London : Chattp and Windus,1986
Al-Ghazali,al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Ushul, Kairo : Sayyid Husein, tth.
Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al-‘Ilm : Keraah Perubahan Paradigma Penafsran al-Qur’an”, dalam Journal of Islamic Studies al-Jam’iah, Yogyakarta : State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga, Volume 39, Number 2, July-December 2001
_____________Tauhid Sosial ke Tauhid Ke Dakwah Kultural”, dalam Suara Muhammadiyah, No 24/TH.Ke-87//16-31 Desember 2002
_____________, “Manhaj Trajih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman” dalam Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000
_____________, Dinamika Islam Kultural, Bandung : Mizan, 2000
_____________, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
___________, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung : Mizan, 1990
___________, Pengantar Buku Membendung Arus, Alwi Syihab, Bandung : Mizan.
Mammad Azar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000,
Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002
Muthohharun Jinnan, Kompas 29 Juni 2001
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1996
_______________, Islam Doktrin dan Peradaban, Badung : Mizan, 2000.
PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Hasil Keputusan Munas Tarjih ke XXIV, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 22-24 Syawal 1420 H.
Robert N. Bellah (ed)., Religion and Progress in Modern Asia, New York : The Free Press, 1965.
Yusuf Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu’ashir Baina al-Indilbath wa al-Infirath, terj. Abu Bazani, Surabaya : Risalah Gusti, 1995
Zuhairi Misrawi, “Di manakah peran Agamawan dalam Melindungi TKI?”, dalam Kompas, Rabu 12 November 2003

1) Lihat Muthohharun Jinnan, Kompas 29 Juni 2001
2) Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung : Mizan, 2000, hal. 164
3) Amin Abdullah, “Manhaj Trajih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman” dalam Muhammad Azhar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000, hal. 1-2
4) Kuntowijoyo, Pengantar Buku Membendung Arus, Alwi Syihab, Bandung : Mizan, hal. XV-XXXI
5) Muhammad Azar dan Hamim Ilyas, Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah ; Purifikasi & Dinamisasi, Yogyakarta LPPi UMY, 2000, hal.VII
6) Al-Ghazali,al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Ushul, Kairo : Sayyid Husein, tth., hal. 478
7) Yusuf Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu’ashir Baina al-Indilbath wa al-Infirath, terj. Abu Bazani, Surabaya : Risalah Gusti, 1995, hal. 181-187
Ibid., hal. 23
9) Amin Abdullah, Op.Cit., hal. 166
10) Ibid., hal. 167
11) Lihat Amin Abdullah, “Al-Ta’wil Al-‘Ilm : Keraah Perubahan Paradigma Penafsran al-Qur’an”, dalam Journal of Islamic Studies al-Jam’iah, Yogyakarta : State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga, Volume 39, Number 2, July-December 2001, hal.359-391
12) PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Hasil Keputusan Munas Tarjih ke XXIV, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 22-24 Syawal 1420 H, lampiran 1
13) Ibid., Bab III
14) Lihat Yusuf Qardlawi, Op.Cit. hal. 13-15
15) Lihat Zuhairi Misrawi, “Di manakah peran Agamawan dalam Melindungi TKI?”, dalam Kompas, Rabu 12 November 2003
16) Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1996, hal. 97-105 atau lihat buku aslinya A.N. Wilson, Againt Religion, Why The Should Try to Live Without It, London : Chattp and Windus,1986
17) Ibid., hal 106-109 Lihat pula Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Badung : Mizan, 2000.
19) Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hal. 61-65
20) Ibid.
21) Ibid. Bandingkan dengan Robert N. Bellah (ed)., Religion and Progress in Modern Asia, New York : The Free Press, 1965.a
22) Amin Abdullah, Op.Cit., hal. 43-45
23) Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001, hal. 195-196
24) Dikutip dari Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002
25) Amin Abdullah, “Dari Tauhid Sosial ke Tauhid Ke Dakwah Kultural”, dalam Suara Muhammadiyah, No 24/TH.Ke-87//16-31 Desember 2002
26) Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, Bandung : Mizan, 1990, hal 45
27) Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid … Op.Cit., hal. 110-111
28) Ibid., hal. 159
29) Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002

Posted by: Anjar Nugroho | Agustus 1, 2007
Islam dan Teologi Pembebasan

ISLAM DAN TEOLOGI PEMBEBASAN
Oleh : Anjar Nugroho
Sejarah dan Perkembangan Teologi Pembebasan
Teologi Pembebasan pada awalnya muncul di Eropa abad kedua puluh dan menjadi studi penting bagi agama-agama untuk melihat peran agama untuk membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindarkan manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan idiologi dari perbuatan mansuai sendiri (Wahono, 2000 : I ). Perkembangan Teologi Pembebasan di Eropa lebih pada pemikiran, sedangkan di Amerika Latin dan Asia pada pemikiran ke gerakan untuk melawan hegemoni kekuasaan yang otoriter. Teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan bagian dari gerakan para agamawan melawan hegemoni kekuasaan negara totaliter.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan (Lowy, 1999 : 27).
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktri keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap erjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis..
Kehadiran Teologi Pembebasan pada awalnya adalah untuk mengkritisi “pembangunan” yang dilakukan negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang dilakukan oleh negara yang didukung oleh institusi kuat seperti militer dan isntitusi agama yang semata meligitimasi kepentingan negara.
Perkembangan teologi pembebasan di Indonesia sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh faktor negara yang represif dan kuat. Teologi Pembebasan yang dilakukan di Amerika Latin telah menunjukkan keberhasilan dalam memperjuangkan hak keadilan bagi masyarakat kecil. Pertarungan antar negara, istitusi agama dengan elit agama di luar institusi, dan rakyat yang tertindas menyatu mendapat kemenangan dan meruntuhkan rezim yang kuat.
Visi Pembebasan Islam
Unsur-unsur pembebasan dalam Islam dapat dilacak kembali sampai pada Nabi sendiri dan pengalamannya. Pada zamannya, Mekkah adalah suatu kota dagang dengan sedikit pedagang kaya tetapi banyak orang miskin yang penghidupannya tergantung pada pendapatan mereka yang kecil dari pekerjaan melayani karavan-karavan dagang yang melalui kota itu. Orang-orang masih bodoh dan bertakhayul, menyembah banyak sekali ilah. Para perempuan ditindas, bahkan mereka dapat dikubur hidup-hidup (Q.S. 81 : 8-9). Ada banyak budak, para janda dan anak yatim diabakan. Nabi sendiri berasal dari keluarga miskin, meskipun bangsawan. Ia diutus oleh Allah untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan. Ia dipaksa oleh kaumnya melarikan diri dari Mekkah ketika pesannya yang membebaskan ditolak
Dengan bimbingan Nabi, orang-orang Arab, di samping membebaskan diri mereka sendiri, juga berusaha membebaskan orang-orang dari kerajaan Romawi dan Sasania yang menindas (Engineer, 1990 : 28-30). Dari praksis inilah tradisi pembebasan Islam muncul.
Muhammad (570 – 632 Masehi), yang secara harfiyah berarti manusia yang terpuji, adalah nabi terakhir dan merupakan revolusioner pertama di zaman modern ini. Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan perempuan, kaum yang miskin dan lemah. Perkatannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dengan nabi-nabi terdahulu; supremasi kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan manusia.(Haque, 2000 : 216)
Nabi Muhammad mendirikan sebuah tatanan sosial yang egaliter di mana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena semua komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti sumber air, tambang-tambang, kebun buah-buahan dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup dan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dan persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajaranya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama Islam yang pertama terutama adalah budak-budak, mawali (budak yang telah dimerdekakan), para wanita dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dulunya adalah seorang budak. Mereka diantaranya adalah Bilal, Syu’aib, salman, Zaid bin Haritsah, Abdullah ibn Mas’ud, dan ‘Ammar bin Yassir. (Ibid : 226)
Konsepsi teologis tentang tauhid sesungguhnya adalah konsepsi tentang prinsip-prinsip atau nilai-nilai luhur yang menjaga kehidupan manusia di muka bumi ini; kebenaran, kasih sayang, ketulusan, kebaikan, kesetaraan, dan persaudaran manusia (Ibid : 39). Muhammad pembawa risalah dalam riwayat hisorisnya mempersembahkan hidupnya untuk menyatakan kebenaran dan membangun sebuah tatanan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai luhur tadi.
Nabi berjuang melawan kekuatan-kekuatan tersebut, yaitu kekuatan-kekuatan yang memecah belah umat manusia ke dalam faksi-faksi, kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang saling bertikai, dimana kelas yang satu menindas kelas yang lain. Mereka bergelut melawan diskriminasi kelas, ketidakdilan, tirani, dan penindasan.
Nabi Muhammad berjuang dengan gigih dan gagah berani membebaskan umat manusia yang menderita karena perbudakan oleh orang-orang yang zalim, orang yang mengeksploitasi orang lain, para bangsawan, para pemilik budak dan para ahli agama. Mereka mengangkat harkat manusia dari jurang tahayul, kelemahan dan ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh syirik, rasa takut, nafsu yang liar, egoisme, arogansi dan nafsu kebendaan (Ibid : 45)
Nabi-nabi sebelum Muhammad seperti Musa, Isa, Ibrahim dan yang lainnya, adalah pemberontak dan revolusioner yang melakukan revolusi melawan penindasan, diskriminasi kelas, korupsi, dan kezaliman pada lingkungan sosialnya masing-masing. Mereka berjuang sepanjang hidupnya untuk kebenaran, kesetaraan, keadilan, dan kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tujuan perjuangan mereka adalah menghapuskan penindasan (zulm) dalam segala bentuknya :
“Sebelum mereka kami sudah mengutus orang-orang yang kami beri wahyu. Tanyakanlah kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak tahu. Kami tidak memberikan tubuh kepada mereka yang tidak memakan makanan, dan mereka tidak pernah hidup kekal. Kemudian Kami penuhi janji kami dan Kami selamatkan mereka dan siapapun yang Kami sukai; tetapi Kami binasakan mereka yang sudah melampui batas. Kami telah mewahyukan kepadamu (hai manusia !) sebuah kitab yang bersi pelajaran bagimu; tidaklah kamu mengerti ? Dan sudah ebrapa banyak penduduk yang Kami hancurkan karena perbuatan mereka yang sewenang-wenang, dan Kami adakan sesudah mereka kaum yang lain ! Setelah mereka merasakan azab dari Kami, ternyata mereka lari menghindarinya. Jangankan kamu lari, tetapi kembalilah kepada kesenanganmu, dan tempat-tempat tinggalmu, supaya kamu dapat ditanyai. Mereka berkata; “Ah, memang kami dulu berbuat sewenang-wenang!” Memang itulah keluhan mereka selalu, sehingga kami jadikan mereka seperti tanaman habis dituai, padam dan tak dapat hidup lagi.” (Q.S. al-Anbiya’ : 7 – 15)
Secara harfiyah, dzulm berarti memindahkan/meletakkan sesuatu atau seseorang pada tempat yang tidak semestinya, atau mencabut sesuatu atau seseorang dari bagian atau haknya yang semestinya. Jadi dzulm adalah sesuatu disequilibrium (ketidakseimbangan), disharmoni, penghapusan, atau gangguan dalam tatanan alam, harmoni, harmoni atau equilibrium segala sesuatu.
Seorang manusia yang mengingkari kebenaran, menolak kesetaraan sosial atau keadilan adalah seorang dzalim, seorang penindas yang mengingkari nilai-nilai luhur kehidupan manusia yang harmonis dan setara; dia adalah seorang kafir, yang mengingkari kebenaran dan kesetaraan dari Allah. Seorang jahat yang menggunakan kekuatan terbuka untuk membunuh yang lemah, adalah seorang dzalim atau penindas yang mencabut manusia lain dari hak asasinya untuk hidup dan dihormati.
Al-Qu’an mendefinisikan dzalimun, para penindas, adalah orang-orang yang mengingkari Allah (juga kebenaran, keadilan dan kesetaraan) (Q.S al-Baqarah : 254). Mereka adalah “ yang ingkar akan tanda-tanda Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa sebab dan membunuh mereka yang menyuruh orang berbuat adil ..” (Q.S. Ali Imran 21) (Ibid : 45). Al-Qu’an mengumpamakan keadaan para penindas itu seperti panen yang gagal karena dirusak oleh hawa yang membeku :
“Mereka yang kafir, harta dan anak-anak mereka yang sedikitpun tak berguna dalam pandangan Allah. Mereka menghuni api neraka, di sana mereka tinggal selama-lamanya. Perumpamaan segala apa yang mereka nafkahkan dalam hidup di dunia ini seperti angin dingin menimpa tanaman suatu golongan yang menganiaya diri. Bukan Allah yang menganiaya mereka tetapi mereka menganiaya diri sendiri.”( Q.S. Ali Imran : 116 – 117)
Dari Teologi ke Praksis
Banyak sekali pemikir Islam yang begitu membicarakan tentang persinggungan antara Islam dengan pembelaan terhadap rakyat dengan jargon yang dianggap berbau komunistik–seperti rakyat, keadilan, kemiskinan—disalahpahami dan dicurigai. Seorang Hassan Hanafi dituduh macam-macam bahkan dianggap sesat dan kafir, lepas apakah pemikirannya benar ataupun salah.
Tetapi bukankah sejarah Islam mencatat betapa banyaknya kisah tokoh Muslim yang begitu peduli dengan hal-hal yang berbau keadilan, kemiskinan, dan kerakyatan ? Dari awal, Rasulullah sudah mencanangkan kemerdekaan hamba dari yang selain Allah, termasuk anjuran menghapuskan perbudakan. Bahkan beliau, dalam doanya, menyamakan kekufuran dan kefakiran. Khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Khalifah Umar pernah membekukan hukum potong tangan ketika musim paceklik. Khalifah Ali berkata, “seandainya kemiskinan itu adalah seorang makhluk, niscaya sudah kubunuh”.
Seorang Ali Shariati, seorang pengagum dan pengkritik Karl Marx, menyatakan bahwa memang dalam sejarah selalu ada pertarungan dua pihak, Penguasa yang zalim dengan Islam yang membela kaum tertindas. Dalam sejarah, kata Ali, betapa banyak kisah pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustad’afin), seperti kisah Nabi Daud, Musa, dan Muhammad. Dia juga mengatakan Islam Kanan yang membungkus agama untuk berlindung dibawah kemapanan kekuasaan yang dzalim, dan Islam Kiri yang memakai Islam sebagai kritik dan alat menghancurkan kedzaliman dan membela orang kecil. (Syari’ati, 1998 : 45). Dalam sejarah kita, Syarikat Islam terkenal amat dekat dengan rakyat. Isu kerakyatan dan buruh amat kental terasa, misalnya pemogokan dan pemberontakan petani. Bahkan cikal bakal Partai Komunis Indonesia mendompleng menbangun kader dari gerakan ini. Berbagai tarekat juga turut andil dalam pengursiran penjajah.
Di Mesir, Gerakan Ikhwanul Muslimin bergerak di kelas bawah, ke buruh-buruh. Bahkan gerakan fenomenal ini sempat beraliansi dengan Partai Sosialis setempat. Di Indonesia, Masyumi juga sangat erat dengan Partai Sosialis Indonesia. Sayang sekali, jarang ada buku dan tulisan tentang keterkaitan ajaran Islam dengan permasalahan umat kelas bawah ini. Sedikit sekali, misalnya karya Yusuf Qardhawi tentang pengetasan kemiskinan dan zakat sebagai solusinya (Qardlawi, 1998). Atau Sayyid Quthb dengan “Keadilan Sosial dalam Islam”. Selebihnya, sebagian besar hanyalah fiqh ibadah ritual dari wudlu ke haji. Memang fiqh tentang hal-hal itu penting, tetapi Islam tidak hanya berisi hal-hal syariat dan fiqh mahdhah semata.
Ashgar mengingatkan tentang bekal ajaran Islam yang sangat erat dengan Teologi Pembebasan, yaitu Persaudaran Universal, kesetaraan, keadilan sosial. Tidak tanggung-tanggung Asghar mengambil contoh dari Uswah terbaik, Rasulullah ((Q.S. al-Ahzab : 21), (Q.S. al-Qolam : 4), dalam menerapkan Teologi Pembebasan itu dan membebaskan manusia dari penindasan dan penyembahan kepada selain Allah. (Engineer, 1999 : 28)
Wallahu ‘alam bish shawab
DAFTAR PUSTAKA
Ali Syari’ati, 1998, Islam Mazdab Pemikiran dan Aksi, Bandung : Mizan
Asghar Ali Engineer, 1999, Islam dan teologi Pembebasan, Bandung :, Mizan
Asghar Ali Engineer, 1999, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Yusuf Qordlowi, 1998, Risalah Zakat, Jakarta : Risalah Gusti
Michael Amalados, 2001, Teologi Pembebasan Asia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Michael Lowy, 1999, Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ziaul Haque, 2000, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta : LkiS
Wahono Nitiprawiro, 2000, Teologi Pembebasan ; Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Yogyakarta : LKiS

KEKUASAAN LEGISLATIF DALAM PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

Oleh : Anjar Nugroho

Pendahuluan
Islam dan politik, demikian dua kata ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah.(Esposito, 1990 : xxi) banyak dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo modern, (Azar, 1996 : 75-142) yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara islam dan politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.
Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan politik (baca : negara). Aliran pertama berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna (kafah) dan lengkap (kamilah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama dari aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid Ridla dan Ahmad A. Maududi.
Aliran kedua berpendapat bahwa islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-Rasul yang lain, dengan tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Pendapat ini dalam khasanah pemikiran Islam kontemporer diwakili oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
Pemisahan agama dan negara, menurut Swidler misalnya hanya representasi dari pemikiran Kristen. Sementara dalam Islam berlaku penyatuan agama dan negara (Swidler, 1996 : 371). Adapun di kalangan Yahudi lebih cenderung ambigu, meskipun pandangan Swidler ini dapat diperdebatkan, sebab seperti dikatakan Davis, Yahudi lebih menerapkan panyatuan agama dan negara atau politik, sebagaimana mereka menggunakan agama untuk menjustifikasi klaim atas tanah Tepi Barat jalur Gaza sebagai hadiah Tuhan. “ hak (atas tanah) ini diberikan kepada kami oleh Tuhan, ayah Abraham, Isaac dan Jacob”, kata Mencachem Begin (Davis, 1989 : 483-495).
Sehingga Smith membagi pemikiran agama dan politik tersebut secara dikotomis ke dalam tipologi religio-political power organic di satu pihak dan sekuler di lain pihak. Kelompok perspektif organik, mengklaim perlunya penyatuan agama dan kekuasaa karena jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan. Sementara itu kelompok perspektif sekuler, cenderung mengklaim perlunya pemisahan antara agama dan kekuasaan, antara lain untuk tujuan menjaga ke “pari-purna”an agama (Smith, 1978 : 85).
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap (al-Islam huwa al-Din wa al-Daulah). Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah seorang tokoh yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid.
Konsekwensi dari aliran ketiga itu, melahirkan pemahaman bahwa istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan Negara Islam. Yang ada adalah khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, al-Quran tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja.
Di Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di antara ayat-ayat tersebut mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti prinsip musyawarah atau konsultasi (Q.S. Ali Imran/3:159; asy-Syura/42:38;), ketaatan kepada pemimpin (Q.S. an-Nisa’/4:59), keadilan (Q.S. an-Nahl/16:90; an-Nisa’/4:58), persamaan (Q.S. al-Hujarat/49:13) dan kebebasan beragama (Q.S. al-Baqarah/2:256, Yunus/10:99, Ali Imran/3:64, al-Mumtahanah/60:8-9).
Dalam tulisan ini akan dibahas secara mendalam tentang elaborasi prinsip musyawarah/konsultasi dalam kehidupan bernegara/politik. Salah satu hal penting yang perlu disorot adalah bagaimana prinsip tersebut dapat diaktualisasikan dalam sistem ketatanegaraan modern yang islami dan demokratis. Prinsip syura diaktualisasikan dengan membentuk lembaga syura (legislatif) yang independen dari kekuasaan yang lain (eksekutif dan yudikatif). Bagaimana kekuasaan legislatif terbangun dalam bingkai moral-etik al-Qur’an? Bagaimana kekuasaan legislatif mendapat tempat dalam wacana politik Islam kontemporer? Dan Bagaimana kekuasaan legislatif dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan yang Islami? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menjadi pembahsan utama dalam tulisan ini.

Sejarah dan Pemikiran Politik Islam
Agama, sebagaimana dinyatakan banyak kalangan, dapat dipandang sebagai instrumen Ilahiyah untuk memahami dunia (Bellah, 1991 : 146; Binder, 1988 : 4). Islam, dibandingkan dengan agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol,. Yaitu sifatnya yang “hadir di mana-mana” (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa “di mana-mana” kehadiran Islam selalu memberikan “panduan moral yang benar bagi tindakan manusia” (Rahman, 1966 : 241).
Pandangan itu telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam syari’ah (hukum Islam). Bahkan sebagian kalangan Muslim melangkah lebih jauh dari itu : mereka menekankan bahwa “Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan”. (Effendy, 1998 : 7)
Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu mengejutkan, meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam kontemporer menyaksikan sebagian kaum Muslim yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi dan, politik pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya. Ekspresi-ekspresinya dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam, atau fundamentalisme Islam (Rahman, 1982).
Pandangan holistik terhadap Islam sebagaimana diungkapkan di atas mempuinyai beberapa implikasi. Salah satu diantaranya, pandanmgan itu telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam secara literer yang hanya menekankan dimensi “luar” (exterior)-nya. Dan kecenderungan seperti itu dikembangkan lebih jauh sehingga , terabaikannya dimensi “kontekstual” dan “dalam” (interior) dari prinsip-prinsip Islam (Effendi, 1998 : 9). Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti itu telah menghalangi sementara umat Islam untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Qur’an sebagai instrumen Ilahiyah yang memberikan panduan niali-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.
Mengakui syari’ah sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh merupakan suatu hal, sementara memahaminya adalah hal lain lagi. Bahkan dalam konteks “bagaimana syari’ah harus dipahami” inilah, sebagaimana dilihat oleh Fazlur Rahman, terletak persoalan yang sesungguhnya (Rahman, 1966 : 101). Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk pemahaman umat Islam terhadap Syari’ah. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang disebut Arkoun sebagai “estetika penerimaan” (aesthetic of reception), sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman (Arkoun, 1996 : 199). Sehingga pada akhirnya, kendati setiap Muslim menerima prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam syari’ah, pemahaman mereka tentang ajaran Islam diwarnai perbedaan-perbedaan.
Munculnya berbagai madzab fiqih, teologi, dan filsafat Islam, misalnya, menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu multi-interpretatif (Hodgson, 1974). Watak multi-interpretatif telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam terhadap sejarah. Selebihnya, hal yang demikian itu juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Karena itu, sebagaimana dikatakan oleh banyak pihak, Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitik (Effendy, 1996 : 10).
Politik Islam tidak bisa dilepaskan dari sejaran Islam yang multiinterpretatif semacam ini. Pada sisi lain, hampir setiap Muslim percaya akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Pada saat yang sama, karena sifat Islam yang multiinterpretatif itu, tidak pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan politik dikaitkan secara pas. Bahkan, sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda – beberapa bahkan saling bertentangan – mengenai hubungan yang sesuai antara Islam dan politik (Watt, 1960).
Pemikiran politik Islam secara historis terpetakan dalam tiga periode dari awal terbentuknya pemikiran itu sampai sekarang, yaitu periode klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pemikiran politik Islam periode klasik dan pertengahan, melahirkan tokoh-tokoh intelektual semacam Ibn Arabi, al-Farabi, al-Mawardi, Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu khaldun. Secara garis besar kesimpulan pemikiran para tokoh itu adalah : pertama, dari enam tokoh, hanya Farabi yang mengadakan idealisasi tentang segi-segi dan perangkat kehidupan bernegara, sedangkan para pemikir yang lain berusaha memberikan sumbangan pemikiran dengan bertitik tolak pada realitas sistem monarkhi yang ada, yang mereka terima masing-masing sebagai sistem yang tidak perlu lagi dipertanyakan kebsahannya. Bahkan diantara mereka ada yang memulai tulisannya dengan terlebih dahulu memberikan legitimasi kepada sistem monarkhi tempat mereka hidup (Sjadzali, 1990 : 108).
Kedua, teori tentang asal mula timbulnya negara dari enam pemikir Islam itu hampir sama, yaitu tampak sekali pengaruh alam pikiran Yunani yang mencoba dikawinkan dengan alam pikiran Islam. Yang berbeda dengan pemikiran Yunani, para tokoh Islam baik secara implisit maupun eksplisit menyatakan bahwa tujuan bernegara tidak semata-mata untuk memenui kebutuhan lahiriyah manusia saja, tetapi juga kebutuhan rohani dan ukhrawi. Ibn ‘Arabi (1970), Ghazali (1975) dan Ibnu Taimiyah (1980) dengan tegas menyatakan bahwa kekuasan kepala negara atau raja, merupakan mandat dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihan. Ketiga tokoh ini perpendapat, bahwa khalifah itu adalah khalifah Allah atau bayangan Allah di bumi. Bahkan kekuasaan khalifah, menurut Ghazali, adalah suci (muqaddas), dengan pengertian tidak dapat diganggu gugat (Ghazali, 1975). Hal ini berbeda dengan Mawardi, yang menyatakan bahwa seorang kepala negara dapat diturunkan dari tahta, jika tidak mampu lagi memerintah, baik disebabkan oleh alasan jasmani, mental dan akhlaq, meskipun dia tidak menunjukan bagaimana penurunan itu dilaksanakan (al-Mawardi, 1973). Dan ketiga, Ibnu Khaldun berpikiran, bahwa lebih baik menggunakan ajaran dan hukum agama (baca : Islam) sebagai dasar kebijakan dan peraturan negara daripada hasil ijtihad (rekayasa pemikiran) manusia (Khadun, 1986 : 189).
Pemikiran politik Islam kontemporer melibatkan para tokoh intelektual Muslim diantaranya ; al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, Sayyid Quthb, Ali Abd Raziq, al-Maududi, Muhammad Husein Haikal, dan di Indonesia dikenal antara lain Muhammad Natsir, Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid. Sebagaimana pemikiran politik Islam klasik, pemikiran ini dapat digambarkan secara global sebagai sebuah pemikiran politik yang : Pertama, sejak akhir abad XIX pemikiran politik di aklangan pemikir Islam mengalami pergeseran, dan berkembanglah pluralisme pemikiran tentang Islam dan tatanegara. Para pemikir politik Islam klasik pada dasarnya menerima dan tidak mempertentangkan keabsahan sistem pemerintahan monarkhi yang mereka temukan pada zaman mereka masing-masing, dengan seorang khalifah, sulthan atau raja memerintah atas adsar turun temurun, supra nasionaln dan dengan kekuasaan yang mutlak, berdasarkan prinsip bahwa dia adalah wakil Tuhan di muka bumi (Sjadzali, 1993 : 204).
Pemikiran politik Islam kontemporer pada akhirnya terpetakan dalam tiga kelompok utama, yang masing-masing berbeda nuansa dan variasi pemikiran. Ada kelompok tradisional, yang cenderung anti Barat. Mereka berpendirian bahwa islam tidak sekadar agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi adalah sistem sosial dan politik yang mengatur juga bagaimana mengelola masyarakat dan negara. Kelompok ini diwakili oleh Rasyid Ridla, Sayyid Quthb dan Abu al-A’la al-Maududi meskipun ketiganya tidak selalu sama dalamsegala aspek. Pada intinya pra tokoh ini mengajak kembali kepada pola ketatanegaraan yang pernah dijalankan oleh Khulafau ar-Rasyidin. Tetapi mereka bertiga gagal menyajikan satu konsep utuh yang otentik tentang sistem politik Islam yang dapat dijalankan dalam kehidupan modern saat ini. Yang menarik dari pemikiran mereka selanjutnya – dalam hal ini diwakili oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi – yang menyatakan bahwa tidak ada konsep tentang kedaulatan rakyat (Quthb, 1984; al-Maududi, 1985). Bagi mereka, manusia (umat Islam) hanya pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan. Lebih lanjut mereka berpendapat, bahwa hanya orang Islam saja yang memiliki hak sebagai khalifah Allah, oleh karena itu, hak politik untuk memilih dan dipilih sebagai kepala negara atau majlis Syura (legislatif) hanya ada atau dimiliki oleh orang-orang Islam, par exellence.
Kelompok kedua, dengan Ali Abd ar-Raziq sebagai “tokohnya”, sebaliknya juga tidak bisa menyakinkan umat Islam bahwa Islam tidak berbeda dengan agama lain, yaitu tidak mengatur secara detail bagaimana mengelola masyarakat dan negara. Dalam bagian pertama bukunya (al-Islam wa Ushul al-Hukmi), dia menyatakan dengan tegas bahwa pemerintahan menurut Islam tidak harus berbentuk khalifah tetapi satu hal yang perlu diperdebatkan adalah, ketika dia menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw hanyalah seorang Nabi/Rasul yang tidak berbeda dengan nabi-nabi terdahulu dan bukan seorang politikus (dalam hal ini seorang kepala negara). Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya di web site Islamlib.com berpendapat bahwa pemikiran ar-Raziq tersebut berat sebelah, dalam arti Muhammad memang seorang rasul, tetapi lebih penting lagi dia adalah pemimpin suatu komunitas konkret yang menjadi ‘embrio’ sebuah negara di Madinah. Karena itulah, tidak salah seandainya generasi intelektual muslim modern mencoba mencari dalam contoh Nabi di Madinah itu suatu ilham untuk mengelola masyarakat modern. Salah satu kebijakan politik yang sering dianggap sebagai ‘kejeniusan Muhammad’ (‘Abqariyyat Muhammad), adalah ketika dia memprakarsai suatu ‘kontrak politik’ antara umat Islam dan kelompok-kelompok sosial lain di Madinah saat itu. Dokumen kontrak ini, dalam sejarah Islam, dikenal sebagai ‘Mitsaq al-Madinah’ atau Perjanjian Madinah, atau Piagam Madinah (Ulil, 2004).
Kelompok ketiga diwakili oleh Muhammad Husein Haekal, yang menolak pendapat bahwa Islam itu lengkap dengan segala pengaturan bagi semua aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk sistem politik, tetapi sebaliknya tidak beranggapan bahwa Islam tidak berbeda dengan agama-agama lain dalam arti tidak memiliki sangkut paut sedikitpun dengan masalah kemasyarakatan dan kenegaraan. Kelompok ini lebih lanjut berpendapat, walau Islam tidak memberikan preferensi kepada suatu sistem politik tertentu, telah meletakkan seperangkat prinsip atau tata nilai etika dan moral politik untuk dianut oleh umat Islam dalam membina kehidupan bernegara (Haekal, 1983).
Muhammad Abduh, meskipun tidak memiliki konsepsi politik yang utuh, dari pokok-pokok pikiran yang dikemukakan dapat digolongkan dalam kelompok ketiga ini. Dia perpendirian bahwa tidak ada orang atau lembaga yang memegang kekuasaan keagamaan dan mempunyai kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Bagi Abduh, seorang penguasa sipil diangkat dan diberhentikan oleh rakyat, dan kepada mereka seorang penguasa bertanggung jawab secara politik dan moral (Sjadzali, 1993 : 208-209).
Sementara para pemikir politik Islam kontemporer di Indonesia yang diwakili antara lain oleh Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid, secara umum mereka berpendapat bahwa tidak ada konsep tentang negara Islam. Dan mereka juga sepakat untuk menerapkan secara maksimal nilai moral-etis al-Qur’an dalam mengembangkan sistem sosial dan politik yang lebih egaliter, demokratis, adil dan manusiawi (Anjar, 2002).
Lebih jauh lagi dalam pandangan Nurcholish Madjid, selain keharusan sebuah pembaruan pemikiran politik Islam Indonesia, Nurcholish juga mengatakan bahwa sebagai masyarakat majmuk dan cita-cita keislaman di Indonesia juga sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya, maka, menurutnya, sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia ini ialah sitem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi yang sekiranya juga akan membawa kebaikan untuk semua masyarakat Indonesia (Nurcholish, 1992 : 52).
Islam, menurut Nurcholish, memang berbeda dengan prasangka banyak orang selama ini, yang seolah tidak menghargai pluralisme. Padahal, orang-orang Arab itu tidak pernah memaksakan suatu sistem monolitik kepada rakyat. Masing-masing kelompok mendapatkan perlindungan dengan kuat, dan diberi hak untuk memempuh cara hidup seperti yang mereka pilih dan terapkan sendiri. Nurcholish mengakui, memang pluralisme sosial dunia Islam tidak sepenuhnya bisa bertahan terhadap perkembangan sejarah – semacam timbulnya gerakan syu’ubiyah, semacam nasionalisme pada abad pertengahan dan diterjemahkan ke dalam bentuk gerakan-gerakan keagamaan yang ekslusivistis. Namun, menurut Nurcholish, prinsip pluralisme dalam Islam itu tetap bertahan secara sehat, malah mengagumkan. Hal ini dapat ditegaskan kembali bahwa agama sendiri, menurut Nurcholish juga tidak mewajibkan kepada umatnya untuk memperjuangkan suatu sistem sosial-politik yang ekslusif. Hal ini ia ungkapkan Sebagaimana berikut:
“…. kiranya dapat ditegaskan bahwa agama itu dalam keasliannya tidak memaksakan atau memperjuangkan suatu sistem sosial-politik yang ekslusif. Gejala ekslusivisme pada sementara orang-orang Islam saat ini dapat dicari keterangannya dalam berbagai kaitan nisbinya, dan jelas bukan sesuatu yang menjadi genius agama Islam. Dalam hal ini kita tidak bisa meremehkan psikologi sebagian kaum Muslim akibat pengalaman hidup dan berjuang melawan kaum imperialis. Pengalaman serupa tidak hanya dimiliki oleh umat Islam,tetapi juga oleh kelompok-kelompok sosial-politik lain termasuk mereka dengan latar-belakang keagamaan dan kebudayaan yang sama dengan kaum imperialis.” (Ibid : 56)
Sistem politik yang didasarkan atas nama agama bagi Nurcholish Madjid, dengan demikian merupakan bukan asli ajaran agama. Namun tidak dapat dilepaskan dari kesadaran historis dan sosiologis yang mempengaruhi emosi umat manusia. Hal ini tidak semata terjadi di dalam umat Islam semata, melainkan juga menjadi gejala umum dan terjdi di semua agama. Atas dasar ini, Nurcholish tidak sepakat dengan sebuah sistem politik Islam yang baku, dan tidak berubah.
Hal ini diakui oleh Amien Rais, bahwa pembicaraan tentang konsep negara Islam di dunia Muslim sendiri merupakan fenomena yang relatif belum terlalu lama (Amien, 1992 : 38). Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yang diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan tempat yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip umum dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “demokrasi Barat”.
Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah dalam al-Qur’an dan Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya ada perintah tegas untuk mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah juga akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yang dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan rakyat, hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan umum (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-benar terinci. Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok dan sangat tepat untuk masa 14 abad yang silam, tetapi perlahan-lahan ia akan menjadi usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-masalah modern yang timbul sejalan dengan dinamika masyarakat manusia, dan pasti tidak akan serasi dengan dinamika sejarah yang terus mengalami perubahan dan pertumbuhan sesuai dengan sunnatullah.”
Namun, menurut Amien, dengan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membangun negara sesuai dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas dari ajaran-ajaran pokok (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, membangun suatu negara yang terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti membangun negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual dan menjurus pada kehidupan yang serba-material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara berkala dalam kesempatan-kesempatan tertentu. (Ibid : 44).
Dalam pemikiran Amien, terdapat beberapa catatan fundamentals yang harus ditegakkan oleh umat Islam dalam membangun suatu negara dan masyarakat (Ibid : 46-47). Pertama, negara dan masyarakat harus ditegakkan di atas dasar keadilan (al-‘adalah). Dalam pandangan Islam, pendirian suatu negara harus bertujuan untuk melaksanakan keadilan dalam arti seluas-luasnya, tidak saja keadilan hukum, melainkan juga keadilan sosial dan ekonomi. Keadilan hukum yang menjamin persamaan setiap orang di muka hukum belumlah cukup, karena tanpa keadilan sosial-ekonomi masih dapat timbul ketimpangan-ketimpangan tajam di antara kelompok-kelompok masyarakat. Dalam pandangan Amien, Islam juga tidak membenarkan konsep persamaan kesempatan (equality of opportunity) yang menjadi semboyan kebanggaan liberalisme-kapitalisme. Persamaan kesempatan secara sekilas terlihat bagus, akan tetapi ia justru akan melahirkan ketidaksamaan dan ketimpangan di antara kelas-kelas di tengah masyarakat, karena titik berangkat masing-masing kelas sudah tidak sama. Si kaya akan terus dapat memanfaatkan dan memborong kesempatan ini, sedang si miskin akan mengalami kebangkrutan dan tak mungkin mampu menggunakan kesempatan yang diberikan, lantaran ia memang tidak memiliki apa-apa, kecuali badan dan tenaganya. Maka berdasarkan persamaan kesempatan ini, si kaya akan menjadi semakin kaya, sedang si miskin akan tetap miskin (Ibid : 46).
Pada intinya baik pemikiran Nurcholish maupun Amien Rais mengungkap pentingnya aktualisasi ajaran-ajaran Islam secara utuh dan konsekuen dalam sistem politik Islam sehingga menciptakan suatu kemashlahatan sebagaimana yang dicita-citakan as-siyasah asy-Syar’iyyah. Kuntowijoyo menawarkan -sekali lagi- enam kaidah-kaidah dalam kehidupan bernegara (baca : berdemokrasi), yaitu ; 1) ta’aruf (saling mengenal); 2) syura (musyawarah); 3) ta’awun (kerjasama); 4) mashlahat (menguntungkan masyarakat); 5) ‘adl (keadilan); 6) taghyir (perubahan) (Kuntowijoyo, 1999 : 91-105).
Apa yang ditawarkan oleh Nurcholis, Amien, maupun Kuntowijoyo itu, jika ditarik ke belakang terdapat benang merah yang menghubungkannya dengan pemikiran al-Maududi. Al-Maududi meringkas pemikiran politiknya dalam beberapa bagian. Pertama, Islam adalah agama yang paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua aspek kehidupan. Dalam lapangan politik, kekuasaan tertinggi (disebut kedaulatan) ada di tangan Allah, manusia hanya sebagai pelaksana kedaulatan itu. Sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan-iakatan geografi, bahasa dan kebangsaan.
Kedua, Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, karena dalam demokrasi yang berdaulat adalah rakyat, artinya rakyat pula yang berkuasa untuk membuat undang-undang dan mekalsanakan undang-undang itu. Maka al-Maududi menawarkan istilah baru yang dinamakan teo-demokrasi yang artinya adalah kedaulatan rakyat yang terbatas.
Ketiga, kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan hukum ; legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Kepala negara merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintahan yang bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat.
2. Keputusan Majlis Syura (legislatif) pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak, dengan catatan bahwa suara terbanyak dalam Islam tidak mencerminkan kebenaran.
3. Anggota Majlis Syura tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-kelompok atau partai-partai.
4. Keanggotaan Majlis Syura terdiri dari warga neraga yang beragama Islam, dewasa dan laki-laki, yang shaleh serta cukup capable dalam menafsirkan dan menerapkan syari’at (Sjadzali, 1993 : 167-168).
Jika dirangkum semua pemikiran para tokoh politik Islam kontemporer, inti dari semua tema dan gagasan yang dikemukakan adalah bagaimana membatasi kekuasaan yang di tangan penguasa sipil dan menerapkan etika-moral Islam dalam kehidupan berpolitik secara utuh. Satu hal yang paling menonjol dalam pemikiran mereka adalah, mutlak adanya lembaga permusyawaratan (syura) sebagai implementasi kongkret dari perintah melakukan musyawarah yang terdapat dalam al-Qur’an. Lembaga Syura (legislatif) mempunyai kekuasaan yang independen dan bebas campur tangan penguasa atau kepala negara bahkan mempunyai fungsi untuk melakukan kontrol terhadap keputusan dan kebijakan yang akan dan telah diambil penguasa atau kepala negara.

Prinsip Syura dalam Kekuasaan Legislatif
Ketika ayat ‘Syura’ (Q.S. Ali Imran/3 : 159) turun, Muhammad saw., mengetahui bahwa sistem syura telah menjadi suatu kewajiban yang include dalam tugas-tugas kerasulannya. Dia harus menjelaskan kepada masyarakat tanda-tanda yang diwahyukan kepada mereka (tentang bagaimana syura dilaksanakan). Dalam situasi demikian Muhammad saw. mampu menjelaskan relevansi nilai normatif syura dalam kehidupan sehari-hari umat kala itu dalam bentuk praksis.
Ayat al-Qur’an yang mewajibkan Rasulullah untuk menerapkan syura bukanlah ayat yang pertama tentang masalah itu; ayat tersebut telah didahului oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang hal yang sama. Jika Q.S. Ali Imran/3 : 159 adalah ayat madaniyyah, maka ditemukan ayat syura yang lain dalam ayat Makiyyah. Perbedaan antar kedua jenis ayat ini didasarkan pada fakta bahwa ayat madaniyyah menegaskan kewajiban (obligator),sedangkan ayat Makkiyah tidak (Rahardjo, 2002 : 445).
Menjelaskan fenomena al-Qur’an seperti itu tidaklah sulit. Penjelasannya akan berawal dari persepsi tentang situasi Rasulullah dan umat Islam di Mekkah dan Madinah. Di Makkah, umat Islam adalah minoritas, mereka ditindas, dan seruan (kepada Islam) harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Situasi yang mereka hadapi menyebabkan mereka tidak bisa membangun institusi-institusi dengan otoritas atau kewenangan legislatif lain selain otoritas Tuhan.
Segala sesuatu berubah di Madinah, di mana umat Islam menjadi pemerintah yang berkuasa. Mereka menjadi kekuatan baru yang berusaha untuk membangun kembali kehidupan dari awal dengan fondasi yang baru, fondasi-fondasi yang didirikan berdasarkan wahyu. Rasul dan para sahabatnya mengembangkan rincian-rinciannya dan membuat legislasi yang didelegasikan Tuhan kepada Rasul dan umat Islam. Situasi di Madinah sudah sedemikian rupa sehingga memungkinkan pendirian lembaga-lembaga legislatif menurut tuntunan al-Qur’an, sehingga Rasul sendiri merasa mendapat mandat untuk membangun lembaga-lembaga tersebut, dan kondisinya sangat memungkinkan di periode Madinah. Maka, Rasulullah mendirikan lembaga legislatif tersebut sebagai respon terhadap al-Qur’an.
Selanjutnya Rasulullah membentuk lembaga legislatif berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa’/4 : 83. Pada Q.S. Ali Imran/3 : 159 mewajibkan Rasulullah untuk membangun institusi syura (lembaga legislatif), lalu Q.S. an-Nisa’/4 : 83, mengkhususkan bidang-bidang kegiatan lembaga ini, yang secara simultan mengkhususkan bentuk kegiatan atau tindakan mana yang harus diambil. Bidang-bidang kegiatan tersebut menyangkut masalah keamanan, ketertiban dan semacamnya. Dan bentuk tindakan yang diambil adalah merujukkan masalah-masalah yang muncul kepada Rasulullah dan Ulul Amri, sehingga dapat diselesaikan masalah-masalah itu sesuai dengan asas kepentingan umum (mashlahah ammah).
Pendelegasian otoritas Tuhan tentang masalah-masalah duniawi kepada umat Islam, dan mereka menerima pendelegasian itu dalam kerangka kemaslahatan umum, dapat membantu memahami maksud ayat al-Qur’an sebagai berikut (Khalaf-Allah, 2003 : 21):

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) sesuatu yang, jika diterangkan kepadamu, menusahkan kamu. Tetapi jika kamu menanyakan ketika al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan apa yang sudah lalu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebelum kamu dulu sudah ada golongan yang menanyakan hal-hal demikian, lalu mereka menjadi kafir.” (Q.S. al-Maidah/5 ; 101-102)

Ayat tersebut berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa hidup Rasulullah saw. Ketika untuk pertama kali umat Islam datang kepada beliau dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah yang tidak dapat diselesaikan, memintanya untuk menjelaskan pandangan agama mengenai masalah ini. Rasulullah lalu meminta petunjuk Allah dan memohon agar diturunkan ayat yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan menjawab permintaan mereka. Al-Qur’an kemudian meminta mereka agar berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah yang memerlukan wahyu untuk menjawabnya.
Menyerahkan permasalahan-permasalahan kepada umat menyebabkan mereka berkembang dan tumbuh, dan mendorong munculnya perubahan dalam masyrakat. Mengembalikan persoalan kepada langit dan menunggu wahyu yang akan meberikan sebuah titik pandang dalam sebuah masalah tertentu, hanya aanmemberikan keputusan yang konstan dan stagnan, tidak dapat membawa perkembangan dan perubahan.
Dalam banyak hal dan kesempatan, al-Qur’an mewajibkan Rasulullah untuk meminta saran kepada para sahabatnya, untuk memutuskan dengan mereka bagaimana mencapai kepentingan umum, dan untuk melaksanakan putusan tersebut tanpa menunggu wahyu. Dalam hal ini pernyataan Allah “Dan ketika kamu telah mengambil keputusan, bertawakallah kepada Alah” (Q.S. Ali Imran/3:159), berarti : laksanakan keputusan ini tanpa menunggu wahyu Allah. (Khalaf-Allah, 2003 : 23)
Musyawarah, oleh para pemikir modern, dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok, tidak saja karena jelas nash-nya dalam al-Qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh hadis, serta merupakan sunnah atau keteladanan Nabi (Rahardjo, 2002 : 444). Para pemikir politik modern mengacu kepada bentuk-bentuk musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tidak akan ditemukan secara persis contohnya pada awal perkembangan Islam. Misalnya munculnya lembaga legislatif (parlemen) yang belum ada pada zaman Rasulullah sampai zaman pertengahan.
Lembaga musyawarah itu sendiri memang pernah ada pada zaman Rasulullah, walau bentuknya berbeda-beda. Bahkan lembaga ini sudah ada sebelum Islam muncul di jazirah Arab. Pemikiran di sekitar konsep ini, dapat dijumpai di berbagai tempat, misalnya di Yunani dan Romawi Kuno. Pada zaman itu, gagasan tentang suatu pemerintahan republik atau demokrasi perwakilan timbul dan selalu hidup di berbagai negara-kota, dalam rangka menentang pemerintahan tiran di dalam negeri, dan dalam melawan despotisme Timur yang diwakili oleh Imperium Persia (ibid).
Seorang ahli tafsir Syi’ah, Syekh Abu Ali al-Fadlal, dalam kitab tafsirnya, Majma’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an, dalam menjelaskan asbab an-nuzul Q.S. asy-Syura/42 : 38, mengatakan bahwa kaum anshar telah biasa melakukan musyawarah, jauh sebelum zaman Islam, juga sebelum kedatangan Rasulullah ke Madinah (Ibid : 445).
Pembentukan kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan masyarakat Muslim adalah sesuatu yang menjamin pencapaian tujuan-tujuan legislatif, menurut ayat al-Qur’an “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam semua urusan” (Q.S. asy-Syura/42:38). Pembentukan otoritas yang demikian memungkinkan ditempuhnya berbagai cara dalam menanggapi pertanyaaan-pertanyaan yang banyak yang diajukan oleh umat seraya berusaha untuk mengetahui dasar dan prinsip tentang fondasi-fondasinya yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan umat Islam di dunia.
Pembentukan sistem musyawarah (lembaga legislatif) merupakan salah satu masalah yang pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia (umat Islam). Dan umat Islam sendiri punya kepentingan untuk membentuk seperti itu dalam rangka mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota masyarakat, karena sekali lagi Tuhan telah mendelegasikan masalah-masalah keumatan untuk diselesaikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan dari-Nya. Dan ini adalah prinsip kemurahan Allah atas manusia, sehingga manusia bisa menemukan sistem yang terbaik dan sempurna untuk membangun negara dan menjalankan pemerintahan dengan bijak.
Tak pelak lagi bahwa kekuasaan legislatif telah menjadi mainstream dalam kajian kritis tentang politik Islam kontemporer yang ingin menarik gerbong umat dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan umat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Tidak akan pernah ada kekuasaan yang absolut dan mutlak di tangan penguasa sipil di bumi, karena yang absolut dan mutlak itu hanya kekuasaan Allah di langit. Institusi legislatif menjadi tempat orang-orang terpercaya untuk mengontrol kekuasaan eksekutif (penguasa sipil/kepala pemerintahan). Orang-orang terpercara tersebut memiliki kewenangan legislatif sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’/4:83 :”Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita keamanan ataupun ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan mereka yang memiliki otoritas (ulu al-amr) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya”.
Orang-orang yang disebut dalam al-Qur’an “orang-orang yang memiliki otoritas” atau “orang-orang yang berwenang” (those in authority) adalah orang-orang yang berada disekitar Rasul. Institusi Legislatif ini memiliki hak untuk meninjau masalah-masalah dan menarik kesimpulan hukum dalam kasus-kasus tersebut dengan metode (thariqah) interpretasi atas teks (nash) dengan mempertimbangkan pada kemashlahatan atau kepentingan umum (mashlahah ammah).
Lembaga Legislatif dan Demokrasi
Lembaga legislatif sebagai penjelmaan konsep syura di zaman modern, apakah dapat ditafsirkan sebagai demokrasi? Masalah ini menjadi ramai untuk diperdebatkan, bahkan sudah dimuali perdebatannya pada era pertengahan. Beberapa masalah yang diperdebatkan adalah : 1) apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, 2) dan apakah majlis syura (konsep modern : lembaga legislatif) sama dengan parlemen model demokrasi Barat?, 3) apakah lembaga syura (legislatif) lebih tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat bagi seorang penguasa atau kepala negara, 4) apakah seorang penguasa dalam pemerintahan Islam wajib memiliki suatu dewan pertimbangan, dan jika ya, apakah dewan itu ditunjuk penguasa atau dipilih rakyat, apakah bersifat konsultatif saja, atau mandataris? 5) apakah partisipasi rakyat langsung dalam proses politik, misalnya dalam pemilihan kepala negara/pemerintahan diperbolehkan dalam konsep syura? 6) apakah anggota lembaga syura (legislatif) harus dipilih oleh rakyat atau cukup ditunjuk penguasa? 7) Apakah fungsi pokok lembaga syura (legislatif)? 8)siapa yang fit and proper (layak dan patut) menjadi anggota majlis syura, apakah ada kriteria menurut syara’?
Kontroversi di atas muncul, pertama-tama, sebagaimana dikatakan Hamka (1981), karena al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak memberikan ketentuan rinci tentang apa bentuk kongkret syura tersebut, bagaimana proses pembentukannya dan apa fungsi dan tugasnya. Suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis memang diisyaratkan dari teladan para sahabt di masa Khulafa ar-Rasyidin, tetapi teladan itu pun mengandung banyak variasi. Sesudah masa itu, bentuk pemerintahan Islam ternyata adalah kerajaan, bahkan monarkhi absolut (Rahardjo, 2002 : 449).
Faktor kedua adalah kenyataan, bahwa pada zaman modern sekarang ini, bentuk dan sistem kenegaraan dan pemerintahan di negara-negara Muslim, tidak semuanya republik demokratis. Sistem monarkhi masih ada di Arab Saudi, Marko, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai lebih banyak diambil dari Barat. Bahkan di negara-negara republik tertentu secara temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator.
Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pada umumnya berada di tangan penguasa yang mengekang demokrasi. Ecara formal para penguasa di banyak negara Muslim menolak “demokrasi liberal” atau “demokrasi Barat” yang tidak atau kurang sesuai dengan kepribadian atau niali-niali yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi “terbatas” atau demokrasi “terpimpin” dalam satu dan lain bentuk. Dalam situasi demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sangat terbatas dan para ulama/cendekiawan cenderung membela pendangan resmi penguasa (Rahardjo, 2002 : 450).
Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini – dari Sunnah Rasul, teladan Khulafa ar-Rasyidin - , timbulnya kerajaan-kerajaan Islam, masih bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di beberapa kawasan Islam, juga dengan melihat kepada negara-negara kerajaan (yang menganut demokrasi-konstitusional parlementer) serta situasi politik di Indonesia sendiri, maka kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim cenderung berhari-hati dalam berpendapat bahwa syura – dalam arti demokrasi populis – meminjam istilah Fazlur Rahman, adalah suatu ketentuan agama. Lembaga syura itu sendiri memang tidak bisa dibantah oleh siapapun, sebagai perintah Allah dan Sunnah Rasul, tetapi bentuk dan sifatnya tidak dijelaskan secara rinci. Dan perinciannya menunggu pemikiran-pemikiran lanjutan dari para pemikir politik Islam kontemporer yang lebih cerdas, jernih dan bijak, semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Beirut : Dar al-Fikr, 1975

Al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Mesir : al-Halabi, 1973

Al-Raziq, Ali , al-Islam wa Ushul al-Hukmi, Beirut : Maktabah al-hayah : 1966.

Arkoun, Mohemmed, Rethinking Islam : Common Questions, Uncommon Answers, Yudian W. Asmin (Penterjemah), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Azhar, Muhammad, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, PT Raja Grafindo, Jakarta, 1996

Bellah, Robert, N., Beyond Belief : Essay on Religion in a Post-Traditionalist World, Berkeley and Los Angeles : University of California press, 1991

Binder, Leonard, Islamic Liberalism : A Critique of Development Idiologies, Chicago and London : University of Chicago Press, 1988

Davis, Charles, “The Political Use and Misuse of Religious language,” Journal of Ecomenical Studies, 26:3, Summer, 1989
Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998
Esposito, John L., Islam and Politics, terj. Joesoef Sou’yb, Bulan Bintang, Jakarta, 1990

Hodgson, Marshall G.S., The Ventura of Islam : Conscience and History in a World of Civilization, Mulyadhi Kartanegara (penterjemah), Jakarta : Paramadina, 1999

Ibn Khaldun, Muqaddimah, Ahmadie Thoha (penterjemah), Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986
Ibn Taimiyah, As-Siyasah asy-Syari‘ah fi Islah} al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah, Dar al-Kutub al-‘Arabiyat, Bairut, 1966
Khalaf-Allah, Muhammad, “Kekuasan Legislatif” dalam Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta : Paramadina, 2003

Kuntowijoyo, Indentitas Politik Umat Islam, Bandung : Mizan 1999

Madjid, Nurcholish, Agama dan Negara Dalam Islam: Sebuah Telaah atas Fiqh Siyasi Sunni, Makalah Seri KKA Nomor 55/Tahun V/ 1991
Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina, Jakarta, 1999
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. 2, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992
Madjid, Nurcholish, Pikiran-Pikiran Nurcholish Muda, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, cet. I, Mizan, Bandung, 1993
Nugroho, Anjar, “Pemikiran Politik Amien Rais dan Abdurrahman Wahid”, Laporan Penelitian, 2002
Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta : Paramadina, 2002

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity : Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London : University of Chicago Press, 1982

Rahman, Fazlur, Islam, New York, Chicago, San Fransisco : Holt, Reinhart, Winston, 1966

Rais, M. Amien, “Tidak Ada Negara Islam”, Panji Masyarakat No. 376/1982.
Rais, M. Amien, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, cet. vi, Mizan, Bandung, 1995
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, cet. V, UI-Press, Jakarta, 1993

Smith, Donald Eugene, Religion and Political Development, Boston : Little, Brown and Co , 1978

Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thought, Einburgh : Einburgh University Press, 1960

TEORI ISLAM TENTANG DAULAH (NEGARA) :


PERSPEKTIF KOSERVATIF-TRADISIONAL DAN LIBERAL-SEKULER

Oleh : Anjar Nugroho



I. PERPSEKTIF KONSERVATIF-TRADISIONAL
a. Pengertian Daulah
Kata daulah dalam Ensiklopedi Islam Islam berasal kata dasar dari dala-yadulu –daulah, yang artinya bergilir, beredar, dan berputar. Secara istilah arti teoritisnya adalah kelompok sosial yang mentap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka. Daulah dapat diartikan negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.
Dalam Al Qur;an terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya dengan arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surah Ali Imran (3) ayat 140 yang artinya :”… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan diantara kamu …” dan surat al-Hasyr/59 : 7 : “… Dan supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya …”. Jimly Asshiddiqie, ahli hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat pertama terkandung muatan yang berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih berkonotasi ekonomi.
Kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada masa pra-Islam, karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Adapun istilah kesukuan “al-banti” terus digunakan dalam Islam. Pada masa Abbasiyah kata daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan, dan dinasti.
Kata daulah juga bisa diberikan kepada penduduk dan anggota daulah. Pada akhir abad ke-10 H, al-Husein, anak dari Wazir al-Qasim (al-Qasim bin al-Dajl) mendapat gelar wali al-daulah (pelindung negara). Pada tahun 330 M/42 H, dari keluarga Hamdani (Bani Hamdani yang ada di Jazirah), Hasan bin Hamdan dan Ali bin Hamdan, keduanya penguasa di Mosul dan Suriah, diberi gelar Saif al-Daulah (pedang negara). Pemberian gelar ini menunjukkan bahwa khalifah memberikan gelar penghormatan kepada pendukungnya. Gelar daulah ini dilanjutkan pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (945 H/1086 M) di Spanyol, Gaznawi (Dinasti Turki yang menguasai Asia Tengah dan beberapa wilayah di Asia Selatan dengan pusat pemerintahan di Gazna tahun 1008-1186 M), dan juga digunakan oleh Malik Tawaif (1011-1086) di Spanypl. Fatimiah (Dinasti Syiah di Arrika Utara tahun 297-567 H/909-1171 M) kadang-kadang juga memberikan gelar daulah kepada pejabat istana mereka.
Al-Kindi, filosof pertama Islam keturunan Arab (185-256 H/810-869 M),mengartikan daulah dengan al-mulk (kerajaan). Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi, seorang dokter pada masa Islam klasik (251-313 H/865-925 M), mengartikan daulah dengan suksesi.
b. Dasar Hukum Terbentuknya Daulah
Para pakar politik Islam klasik menjadikan dasar hukum pembentukan daulah dalam arti pemerintahan dalam firman-Nya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menerapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Hama Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S. al-Nisa’:58) dan “Hai Orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar berian kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. al-Nisa : 59)
Para pakar politik Islam klasik (konservatif-trdisional) menjadikan kedua ayat ini sebagai landasan terbentuknya daulah, karena kedua ayat itu mengandung unsur-unsur yang dapat mewujudkan atau merealisasikan sasarn atau tujuan yang diinginkan terbentuknya suatu daulah. Munawir Sjadzali, ahli fiqih siyasi Indonesia, berpendapat bahwa kedua ayat itu mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Ia berpendapat bahwa ayat di atas menjelaskan bagaimana proses hubungan yang komunikatif dan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dalam rangka mencapai tujuan yang saling memberi manfaat bagi kedua belah pihak. Rais (pemimpin), sebagai pemegang amanah, dan mar’us (yang dipimpin) merupakan komponen yang harus ada dalam pemerintahan suatu daulah. Pemimpin dan perangkatnya yang ada dalam suatu daulah merupakan motor penggerak dan pelaksana jalannya roda pemerintahan. Adapun mar’us harus mematuhi dan melaksanakan sistem dan aturan yang telah digariskan atau diprogramkan oleh rais. Ayat pertama ditujukan kepada pengausa, agar bertindak adil. Ayat kedua ditujukan kepada warga sipil, agar mematuhi Allah, Rasulullah, dan ulil amri (penguasa).
Keharusan adanya pemimpin berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW :”Jika tiga orang bepergian, hendaklan mereka menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kemashlahatan dan keadilan tidak bias ditegakkan tanpa adanya penguasa yang berwenang menetapkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW. Hukum tidak bisa berjalan dengan baik tanpa didukung rakyat yang memenuhi hukum. Harus ada kerjasama antara penguasa dan rakyat.Kemashlahatan bisa berjalan dengan baik apabila telah terbentuk daulah.
c. Rukun Daulah
Menurut Imam al-Mawardi, rukun daulah adalah adanya rakyat, wilayah dan pemerintahan. 1) Rakyat merupakan salah satu yang esensial begi terwujudnya daulah. Rakyat merupakan gabungan individu yang berdomisili di wilayah daulah.Tidak semua yang menetap di wilayah daulah dianggap sebagai warga. Daulah Islam membedakan antara orang Islam dengan kaum Dzimmi (kaum non Muslim yang menetap dan mendapat perlindungan di darul Islam). Kaum dzimmi yang bermukim di daerah Muslim diharuskan membayar jizyah (pajak yang dipungut dari rakyat nonmuslim dalam negara Islam), yang dengannya mereka terjamin memperoleh perlindungan dari negara (Q.S. 9:29). Pajak tersebut juga merupakan pembenaran perlindungan perlindungan nyawa dan harta mereka. Setelah itu baik daulah Islam maupun masyarakat Muslim tidak berhak melanggar harta, kehormatan maupun kemerdekaan mereka. Mereka mendapatkan perlindungan dalam kemashlahatan umum, seperti perdagangan dan industri.
Kaum Dzimmi terikat dengan hukum pidana yang sama dengan warga muslim. Demikian juga dengan hukum perdata, harta kekayaan apapun bentuknya dan alat perdagangannya yang dilarang bagi muslim juga terlarang bagi kaum dzimmi. Misalnya, riba terlarang bagi kaum muslim juga bagi kaum dzimmi. Dalam hukum keluarga (perkawinan, perceraian, danm warisan)mereka diperbolehkan memberlakukan hukum agama mereka, seperti pernikahan tanpa saksi, tanpa penetapan mahar, dan sebagainya. Mereka juga diberi kebebasan dalam mengadakan upacara keagamaan sesuai dengan agama mereka.
Menurut Imam al-Mawardi, penguasa boleh menugaskan kaum dzimmi dalam lembaga eksekutif. Mereka tidak wajib berperang apabila peperangan itu dimaksudka untuk membela Islam. Adapun warga Muslim yang telah memenuhi kriteria tertentu, misalnya baligh, berakal, dan merdeka, mempunyai hak politik, hak memilih dan dipilih, dan wajib ikut berperang membela Islam dalam peperangan.
2)Wilayah. Yang dimaksud wilayah di sini mencakup wilayah darat, laut, dan udara. Untuk mewujudkan daulah, sekelompok orang harus menetap pada suartu wilayah tertentu. Suku-suku yang sellau berpindah tempat tidak mempunyai wilayah sendiri, tidak dianggap sebagai daulah. Sistem Islam membedakan antara darul Islam (daerah yang berada di wilayah kekuasaan Islam) dan darul harbi (wilayah yang berada dalam kekuasaan kaum kafir).
Di Samping itu terdapat darul Ahad (darul aman), yaitu suatu wilayah yang ditaklukkan oleh kaum muslimin tetapi tidak dikuasai secara teritorial. Penaklukan wilayah ini dilakukan secara damai dan hukum yang berlaku bukan hukum Islam. Hanya saja antara darul Islam dan mereka tidak diikat dalah suatu perjanjian damai.
3)Pemerintahan. Pemerintah merupakan unsur utama dalam pembentukan daulah. Ia berkuasa menjalankan urusan daulah, mengurus organisasinya dan menangani urusan rakyatnya. Dalama perkembangan sejarah Islam, para ahli politik Islam sepakat menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah emndirikan daulah Islam pertama Madinah di tahun pertama hijriyah (622 M). Dengan terbentuknya komunitas muslim di Madinah, maka Rasulullah sekaligus sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara. Pengukuhan kekuasaan dinyatakan dalah konstitusi tertulis yang dikenal sebagai Piagam Madinah. Dengan piagam ini Rasul mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang atau damai, menyelesaikan konflik antar warga masyarakat, dan menentukan kebijakan menyangkut masalah ekonomi, politik dan lain-lain.
Setelah Nabi Muhammad wafat, kekuasaan dan bentuk daulah mengalami perkembangan. Julukan kepada kepala daulah mengalami perubahan, seperti dari khalifah menjadi sulthan dan amir.
d. Syarat Daulah
Menurut Mahmud Hilmi, Guru Besar filsafat dan politik Islam di Universitas al-Azhar (Mesir) dalam bukunya Nizam al-Hukm al-Islami, menyatakan syarat daulah adalah ; 1) mempunyai pengairan yang memadai, 2) tersedia barang-barang kebutuhan pokok, 3) tempatnya strategis dan udaranya bagus, 4) dekat dari daerah pemukiman, dan 5) wilayahnya terpelihara dari gangguan musuh dan pengacau hingga rakyat merasa terlindungi.
Selanjutnya ia menyatakan, apabila daulah telah berdiri, maka harus dipenuhi beberapa faktior berikut : 1) pemerintah harus menyediakan air bersih dan memberi kemudahan kepada rakyat untuk memperolehnya, 2) mendirikan tempat shalat di dekat pemukiman, 3) mendirikan pasar yang memungkinkan penduduk untuk memenuhi kebutuhannya, 4) membentengi daerah agar aman dari serbuan musuh, 5) mendatangkan para ilmuwan dan para ahli yang sesuai dengan kebutuhan penduduk sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
e. Fungsi Daulah
Menurut Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hanbali (338-458 H; ahli fiqih madzab Hanbali) dan Imam al-Mawardi, menyatakan ada beberapa fungsi daulah, diantaranya sebagai berikut :
  1. Memberi perlindungan dan keamanan, serta mempertahankan diri dari serangan musuh.
  2. Tugas yudikatif mencakup penegakkan hukum dan keadilan, sehingga orang dhalim tidak bertindak sewenang-wenang dan orang yang teraniaya tidak bertambah lemah, dan menegakkan hudud, agar larangan Allah SWT dapat dilindungi dari pelanggaran sehingga hak dan kemashlahatan rakyat terpelihara.
  3. Tugas keuangan, di antaranya menarik pajak dan sedekah yang diwajibkan syara’, sehinga menurut nash maupun ijtihad dengan tidak memaksa.
II. PERSPEKTIF LIBERAL-SEKULARISTIK (ALI ABD AL-RAZIQ)
Untuk kepentingan diskusi ini, dieksplorasi sedikit pemikiran intelektual muslim yang dikenal sebagai eksponen perspektif sekularistik tentang negara/kekuasaan. Dalam hal ini adalah Ali Abd. Raziq, intelektual dan aktifis politik Muslim yang dikenal sebagai eksponen pemikiran pemisah agama dan negara. Tokoh yang pernah diangkat sebagai hakim syari’ah di Mesir (1915) ini menulis Al-Islam wa Ushulul al-Hukm: Bahtsun fi al Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam- Islam dan sumber-sumber kekuasaan politik; Kajian tentang Khilafah dan kekuasaan dalam Islam, diterbitkan pertama kali pada tahun 1925, yang berarti hanya berselang dua tahun setelah revolusi Kemalis yang menghapus sistem khilafah Turki pada akhir 1923.
Dalam membangun tesis pemisahan antara agama dan politik, itu Raziq dalam hal tertentu tampak dipengaruhi oleh pemikiran ibn Khaldun yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi dalam Islam maupun Barat modern. Raziq mengikuti Khaldun dalam pencarian sumber kekuasaan dari sebab-sebab alamiyah dan bukan dari sebab-sebab ilahiyah. Oleh karena itu Raziq, seperti juga Khaldun memberi penyediaan pintu masuk untuk menerima kekuasaan raja atau kekuasaan secular dan bukan khilfah (kekuasaan atau rezim yang memperoleh keabsahan ilahiah).
Kendati demikian harus dicatat bahwa Raziq jauh lebih berani melangkah, dalam membangun tesis tentang kekuasaan. Menurut aktifis Hisb al-Ummah- organisasi yang sesungguhnya tergolong radikal di Mesir, kekuasaan harus lepas dari khilafat dengan mencari justifikasi kepada rakyat. Dalam kontek inilah Raziq menolak tesis Khldun yang meminta penguasa non-khilafat tetap membangun moralitas ilahiyah. Pandangan seperti ini menurut Raziq hanya menyebabkan bercapur aduknya justifkasi ilahiyah dengan justifikasi rakyat.
Pada tingkat asumsi yang dibangun, Razik memang berbeda dengan Khaldun. Bagi Raziq sumber legitimasi kekuasaan tidak bisa dicampur aduk antara legitimasi rakyat (ascending of power) dengan yang datang dari Tuhan (descending of power). Tidak seperti Raziq, ibn Khaldun memandang bahwa khilafah adalah rejim Qur’ani, sebuah rezim politik yang mengurus kebutuhan manusia dunia dan akhirat, dijustifikasi berdasarkan kalam ilahi. Walaupun menurut Khaldun rezim Qur’ani tersebut hendaknya tidak menghapus atau menekan semua keinginan alami manusia dan institusi sosial, karena ia merupakan basis sebuah rezim apapun, rezim politik maupun Qur’ani. Lebih jauh dikatakan pula bahwa jika raja bertindak dengan ikhlas melayani kepentingan publik atas nama Tuhan, dan mengajak mereka perlu dikecam dalam diri pengusaha profan semacam ini.
Berakar dari asumsi atau pengandaian bahwa kekuasaan harus dicari sebab-sebab alamiyah, Raziq membangun klaim hubungan agama dan politik melalui perspektif sekularistik. Klaim tentang khilafat dan kekuasaan dalam Islam itu ia mulai dengan mengajukan pertanyaan besar: (1) Apakah kekhalifahan memang diperlukan ? (2) Apakah memang ada sistem pemerintahan yang Islami ? (3) Dari manakah sumber legitimasi kekuasaan, dari atas (Tuhan) atau dari bawah (rakyat) ?
Pertanyaan ini muncul di tengah seting sosial saat itu yang ditandai dengan lemahnya kekahlifahan dalam Islam, tetuama di kawasan Eropa Timur, yang kemudian memicu ketegangan di kalangan aktifis politik Islam. Ketegangan atau konflik itu di Turki berujung dengan pembubaran kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) pada tahun 1923/1924 oleh pemerintah Turki di bawah kepemimpinan Kemal Ataturk. Pembubaran itu dilakukan dengan alasan lembaga spiritual saat itu, khususnya lembaga keulamaan, dinilai hanya mengabdi kepda kepentingan sultan/khalifah, menjustifikasi penguasa, dalam hal ini khalifah, tanpa memperhatikan berbagai kelemahan yang dimilikinya.
Kekecewaan masyarakat terhadap sultan atau khalifah saat itu muncul di tengah kekalahan mereka dari musuh yang antara lain berhasil menduduki Islamabad. Sultan dipaksa untuk menerima perjanjian damai yang memalukan. Perjanjian itu merampas kemerdekaan dan memecah belah wilyahnya. Umat Islam, terutama dipelopori Kemal saat itu menolak penghinaan ini dan memerangi Sultan dengan kekuatan senjata, sehingga menarik simpati seluruh dunia Islam. Rasyid Rida, editor majalah Al-Manar pun pada saat itu berada dalam barisan penentang para Sultan yang dinilainya telah mengedepankan kepentingannya sendiri daripada menjaga keutuhan dan khormatan wilyah negerinya.
Di tengah melemahnya sistem khilafah antara lain karena disebabkan mengemukannya kepentingan pribadi penguasa seperti itulah Raziq lalu membangun argumentasinya tentang kekuasaan. Menurutnya masyarakat memang memerlukan kekuasaan politik, namun tidak harus dalam bentuk tertentu. Bahkan umat pun tidak harus dipersatukan secara politik. Tesis utama Raziq dapat dikemukakan sebagai berikut :

(1) Bahwa Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spiritual. (2) Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitive. Karena itu umat Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun yang mereka rasakah cocok (3) Bahwa tipe-tipe pemerintah yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius. (4) Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam, karena ia digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.

Pikirannya yang menyimpang dari mainstream intelektual Muslim di Mesir saat itu, menyebabkan dia harus menanggung resiko di pecat dari jabatannya sebagai hakim syariah oleh Majelis Ulama Tertinggi Mesir, dan Al-Azhar menanggalkan gelar alim dari Raziq. Namun dalam mempertahankan argumennya, Raziq ketika diwawancarai wartawan Bourse Egiptienne sesaat setelah Dewan Ulama Pusat Mesir melancarkan kecaman terhadap dirinya, ia menyatakan gagasan utama dalam buku saya, yang telah membuat saya banyak dikecam, adalah bahwa Islam tidak menetapkan bentuk Rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sendiri. Islam justru memberi kita kebebasan untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di sekeliling kita, dengan mempertimbangkan sosial dan tuntutan jaman.
Pemikiran Raziq jelas merupakan kritik, di satu pihak terhadap pemikiran differensionis Ibn Khaldun di satu pihak, dan terutama adalah kritik kepada para pemikir Islam perspektif organik. Raziq tidak sependapat dengan pemikiran organik yang dianut oleh mayoritas Muslim saat itu. Dalam tipologi kekuasan organik, penguasa atas nama negara memberikan dukungan dan akomodasi terhadap negara. Simbol-simbol agama akan dikenakan dalam acara-acara resmi maupun tidak resmi dan bahkan dalam sistem negara teokratik, penggunaan symbol-simbol agama itu dilakukan secara institusional dan formalistik. Dalam kajian Islam, diskusi hubungan agama dan kekuasaan atau politik organis, memunculkan klaim tidak ada pemisahan antara agama dan politik, sehingga kekuasan bukan sekedar representasi, tetapi adalah presentasi dari agama. Di sinilah Raziq berbeda paham dengan para penganut Islam formalistik seperti Sayyid Qutb, Rida maupun Al-Maududi.
Menurut Raziq, persyaratan yang dibangun untuk menjustifikasi penyatuan agama dan politik dalam Islam didasarkan kepada teradisi pemikiran skripturalistik, idealistik dan formalistik dalam memahami teks doktrinal agama (Woodward, 1998 : 283-311). Dalam pemikiran skpritualistik pemahaman agama dilakukan secara tekstual. Pemikir seperti Sayyid Qutb, misalnya mengartikan secara harfiah ayat Al-qur’an : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. 5:44,45,47)
Ayat ini dfahami sebagai perintah menjalankan pemerintahan illahi dalam lembaga formal sehingga lalu memunculkan konsep negara teokratis, dengan simbol-simbol kekuasaan bersumber dari Islam. Dengan demikian dalam memahami kekuasaan, penganut perpsektif skripturalis cenderung berangkat dari asumsi descending of power, dalam hal ini legitimasi penguasa berasal dari Tuhan, dan dengan demikian penguasa tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang dari sini lalu muncul pemerintahan teokratis.
Pemikiran skripturalistik sering menampilkan kecenderungan bertindak secara idealistik dengan melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam ideal. Tokoh seperti Al-Farabi dan filosof Ikhwan al-Shafa, misalnya mengajukan negara ideal yang disebut al-madinah al-fadilah (negara utama). Karena konsepsi ini bercorak filosof, maka cenderung a-historis. Mengenai sikapnya terhadap penyelenggaraan politik pemerintahan, maka kaum idealis cenderung tidak realis dalam menghadapi format politik dan kenegaraan yang ada. Pandangan idealis ini kemudian lebih cenderung berorientasi formalistik, sebuah pemikiran yang lebih mengedepankan bentuk (body) dari pada isi (mind). Mereka tidak terusik dengan kenyataan bahwa bisa saja kekuasaan mengendalikan body, meski tidak otomatis dapat mengendalikan mind. Dalam hal politik penyelenggaraan pemerintahan, negara dipandang sebagai simbol agama, sehingga perlu politik yang Islami, antara lain dengan membentuk negara Islam atau Partai Islam.
Sikap idealis dan tidak realistik, di tambah dengan kecenderungan untuk melakukan formalisme ajaran tersebut memicu ketidak sabaran sejumlah pegerakan kebangkitan Islam seperti kelompok Al-Jamaah al-Islamiyah maupun gerakan Jihad untuk merespon pemerintahan Mesir yang cenderung secular secara radikal, berbeda dengan strategi yang diterapkan Iskhwanul Muslimin yang cenderung lebih moderat.
Dalam membangun tesis pemisah agama dan politik Raziq, menghidarkan diri dari pemikiran skriptualistik, idealistik maupun formalistik. Raziq menegaskan bahwa tidak ada rujukan yang dapat dipakai di dalam al-Qur’an maupun Hadits untuk membuktikan adanya persyaratan menggerakan sistem kekhalifahan. Peraturan tentang kekuasaan politik, politheisme, perbudakaan atau tentang apapun tidak lantas menjadi wajib hanya karena dibahas dalam al-Qur’an. Dalam al-Qur’an yang sangat terkenal, “patuhlah kepada Allah, Rasul dan ulil amri, “ tidak dengan serta merta merujuk kepada penguasa politik baru manapun.
Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, Raziq menyatakan bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau “ulama’ Oleh karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun pemimpin politik. Ia menyatakan :
Muhammad hanyalah seorang utusan (Allah). Ia betul-betul mengabdikan dirinya bagi dakwah agama tanpa kecenderungan yang menyangkut kedaulatan yang sementara sifatnya, karena ia tidak menyerukan bagi sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan…. Nabi tidak memiliki kerajaan ataupun pemerintahan yang sifatnya temporal. Ia tidak mendirikan kerajaan dalam pengeritan politik atau apa pun yang sinomim dengannya;…. Ia hanyalah seorang Nabi, seperti Nabi-nabi yang lain yang mendahuluinya. Ia bukanlah raja atau pun pembangun negara, Ia juga tidak menyerukan bagi dibangunnya imperium temporal (al-Raziq, 2001 : 133).



REFERENSI:
Dahlan, Abdul Azis dkk., (ed)., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoevee, cet. IV, 2000
Al-Raziq, Ali Abd., 1966, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Beirut : Maktabah al-hayah.
‘Imara, Muhammad, 1972, al-Islam wa Ushul al hukm li ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Beirut : Dar al-Fikr.
Effendy, Bachtiar, 1998, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina
Al-Maududi, Abu al-A’la, Khalifah dan Kerajaan, Evaluasi atas Sejarah Pemerintahan, Bandung : Mizan, 1984
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, Beirut : Dar al-Fikr, 1966
REVOLUSI MASYARAKAT ISLAM :
HISTORISITAS GERAKAN RELIGIO-POLITIC MUHAMMAD SAW. ERA MEKKAH DAN MADINAH
Oleh : Anjar Nugroho
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji sejarah gerakan religio-politic Muhammad SAW selama periode kerasulannnya, baik di Mekkah maupun di Madinah. Pendekatan dalam kajian ini adalah historis-sosiologis yang memungkinkan penulis untuk memotret realitas saat itu secara lebih obyektif sehingga diharapkan akan memunculkan gambaran sejarah kenabian secara utuh.
Inti perjuangan Rasulullah adalah melawan kekuatan hegemonik yang despotik yang dipraktekkan olah suku dominan, Quraisy. Berkat motivasi yang tinggi yang bersumber dari kekuatan tauhid dan perhitungan politik yang genius, kekuatan hegemonik dapat ditumbangkan secara revolusioner. Sampai akhirnya lahir struktur sosial-politik yang menjamin nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tegak dalam kehidupan masyarakat.
A. PENDAHULUAN
Hadirnya Islam merupakan bukti autentik sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan sangat signifikan dalam panggung sejarah umat manusia. Tidak diragukan lagi, Islam telah menjadi penanda perubahan, bukan hanya dalam bidang teologi, tetapi juga di bidang sosial dan ekonomi. Sistem teologi Islam –dari sisi normatifnya - telah membentuk sikap mental muslim yang senantiasa concern terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan, dan inilah modal utama dalam membangun peradaban yang unggul dan utama.
Sejarah nabi adalah bukti empirik-historis bagaimana Islam tegak di tengah-tengah terpuruknya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, dan Islam menawarkan nilai-nilai baru yang berorientasi kepada pembebasan dan memihak kepada yang teraniaya (mustadh’afin). Perjuangan menegakkan nilai-nilai fundamental Islam itu dilakukan oleh Nabi beserta para sahabat dengan taktik dan strategi politik yang genius sehingga secara revolutif kondisi masyarakat jahili dapat ditransformasi menjadi masyarakat yang beradap dan religius. Jika pada masa pra-kenabian, kedudukan perempuan terpuruk dalam sistem patriarkhi yang despotic (aniaya), Islam telah merubahnya menjadi berkedudukan yang equality (sejajar) dalam relasi sosial-religius dengan laki-laki, walau dalam hal ini nabi belum seluruhnya merobohkan sistem patrairkhi yang telah menjadi darah daging masyarakat Arab saat itu.
Islam, dengan perjuangan gigih Nabi, juga telah mengganti pranata sosial masyarakat yang tidak berpihak kepada nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Sistem sosial dan politik masyarakat Arab yang eksklusif dan anti perubahan (status quo) yang telah terbukti menjadi alat para penguasa Quraisy bertindak sewenang-wenang, baik secara sosial, politik maupuan ekonomi, dirombak oleh sistem Islam yang mengutamakan persamaan, anti penindasan dan perwujudan kemashlahatan.
Makalah sederhana ini mencoba untuk memotret sejarah gerakan politik-keagamaan Nabi Muhammad SAW selama periode kerasulannnya, baik di Mekkah maupun di Madinah sampai akhirnya beliau berhasil membangun peradaban Arab baru yang transenden dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Pendekatan dalam kajian ini adalah historis-sosiologis yang memungkinkan penulis untuk memotret realitas saat itu secara lebih obyektif sehingga diharapkan akan memunculkan gambaran sejarah kenabian secara utuh dan obyektif.
B. MEKKAH : PERLAWANAN TERHADAP SISTEM HEGEMONIK
a. Situasi Umum Kota Mekkah
Kota Mekkah terletak di jalur perdagangan internasional, dan dengan sendirinya menjadi pusat perdagangan yang penting. Mekkah karena makmur letaknya yang berada di jalur penting dari Arabia Selatan sampai Utara dan Mediteranian, Teluk Persia, Laut Merah melalui Jiddah dah Afrika.[1] Mekkah adalah salah satu pusat kota penting dengan aktifitas perdagangan yang ramai. H.A.R. Gibb dalam hal ini menulis “Mekkah sebagai kota dagang yang ramai dan sibuk, yang hampir memonopoli perdagangan antara Lautan India dan Mediterania ini, mengingatkan kita pada Palmyra Yunani. Penduduknya yang tetap mempertahankan kesederhanaan Arab asli dalam perilaku dan lembaga ini telah melahirkan orang-orang dengan pengetahuan yang luas dan kota ini menjadi poros diplomatik dan perdagangan yang berlangsung antara suku-suku Arab dan pejabat-pejabat Romawi”[2].
Montgomery Watt dalam hal ini juga menulis :”Mekkah lebih dari sekedar pusat perdagangan, ia adalah pusat keuangan … bahkan jelas terlihat adanya berbagai aktifitas keuangan yang sangat komplek di Mekkah. Para saudagar terkemuka Mekkah adalah orang-orang yang ahli dalam masalah keuangan, pandai dalam mengelola kredit, cakap dalam menghitung untung rugi, dan berminat untuk menanamkan investasi yang menguntungkan ke luar, mulai dari Aden sampai Gaza atau Damaskus. Jaringan finansial yang mereka bangun tidak hanya melibatkan penduduk Mekkah saja, tetapi juga para saudagar di kawasan sekitarnya”[3].
Penduduk yang mendiami wilayah kota ini pada mulanya adalah bangsa nomad, yang salah satunya direprsentasikan oleh kaum Badui. Kaum Badui, karena menghadapi kesulitan hidup, mencari tempat tinggal di kawasan kota yang maju seperti Arab Tengah, atau akan menuju ke Utara untuk mencari daerah subur. Penduduk yang berasal dari suku nomad ini, ketika berimigrasi ke pusat kota, tetap mempunyai watak dan loyalitas kesukuan mereka sendiri, yang oleh Ibn Khaldun[4] disebut dengan Ashâbiyah. Dan karena faktor loyalitas kesukuan inilah yang menjadi faktor penting dalam membentuk kelompok politik yang solid.
Setiap suku, hampir setiap klan atau kelompok keluarga, adalah berdaulat, dipimpin oleh kepala sukunya, yang dipilih sebagian atas dasar garis keturunan dan sebagian lagi atas kebijaksanaan pribadinya.. Setiap kelompok mempertahankan hak-hak pengembalaannya sendiri di wilayahnya sendiri, atau berusaha mempertahankan posisinya yang lebih baik dengan mengorbankan kelompok lain. Masyarakat yang seperti itu menolak bentuk-bentuk politik yang otoritarian, dan mendasarkan dirinya pada keberanian dan martabat individual dan pada kesetian-kesetianaan kelompok yang bergaris keturunan yang dekat.[5]
Rasa kesukuan yang berbeda-beda ini memainkan peranan di Mekkah dan mendorong munculnya berbagai persekutuan seperti Orde Kekesatrian (Order of Chivalry) yang bernama Hilf al-Fudul,[6] dan upaya untuk mendominasi yang dilakukan oleh satu kelompok atas kelompok lainnya senantiasa menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.
b. Hegemoni Quraisy
Dalam sejarah Arab, suku Quraosy dikenal sebagai suku masyhur, terhormat, dan memiliki pengaruh serta kewibawaan yang sangat besar dibandingkan dengan suku-suku yang lain. Suku ini telah mulai membagun kekuasaan sejak dirintis oleh Qushayi bin Kilab dan mencapai puncaknya pada masa Muhammad SAW. Dalam membangun kekuatan suku, mereka mempererat hubungan kekerabatan dengan kabilah-kabilah besar yang terkenal, - salah satunya - melalui jalur perkawinan.[7]
Mekkah saat itu dikuasai oleh suku Quraisy. Suku ini, sebagaimana suku-suku yang lain, terbentuk dari beberapa kelompok (clan). Pada abad VI M, suku Quraisy berhasil membangun hegemoni perdagangan. Kafilah-kafilahnya tersebar luas menguasai titik-titik perdagangan internasional. Saudagar-saudagar penting di Mekkah menjadi kaya raya dan mengontrol hampir semua kehidupan ekonomi. Berkat dominasi di bidang ekonomi ini, secara sosio-politik mereka juga dominan[8], sehingga tidak heran jika pada suatu masa kelak, mereka menganggap kalau merekalah yang paling otoritatif untuk memegang kekuasaan sepeninggal Rasulullah. Mereka mengatakan bahwa berdasarkan kebiasaan, suku Quraisylah yang berhak menjadi khalifah[9], meskipun pendapat ini bertentangan dengan konsep persamaan hak bagi semua Muslim tanpa memandang asal suku.
c. Masyarakat tanpa Negara
Meskipun di Mekkah berlangsung perdagangan yang sangat ramai, namun tidak ada organisasi negara, birokrasi dan tentara. Karena pertanian tidak mungkin di Mekkah, feodalisme atau institusi kerajaan tidak dapat berkembang. Satu-satunya lembaga pemerintahan di Mekkah adalah senat yang disebut al-Mala. Raghib al-Asfihani, sebagaimana dikutip oleh Khalil Abdul Karim[10] mendefinisikan al-Mala dengan sekelompok orang yang berkumpul dalam satu kata (pendapat). Senat ini terdiri dari wakil-wakil suku. Tetapi yang perlu dicatat adalah, masih menurut Raghib, dewan ini hanyalah lembaga musyawarah dan tidak mempunyai hak eksekutif. Di samping itu, setiap suku secara teoritis independen sehingga tidak terikat dengan setiap keputusan yang dihasilkan, Satu-satunya keputusan yang efektif adalah apabila terdapat suara bulat.
Dalam struktur pemerintahan suku tersebut, seperti yang ditulis R.A. Nicholson, “Konstuitusi kesukuan adalah demokrasi yang dipimpin oleh kepala suku mereka, memperoleh kekuasaan karena keturunan atau sifat bangsawan, kekayaan, kebijaksanaan, dan pengalaman mereka. Namun demikian, para pemimpin ini tidak mempunyai hak memerintah atau menjatuhkan hukuman kepada para bawahan mereka. Setiap orang memerintah dirinya sendiri, bebas mencemooh kesombongan orang lain. ‘Jika tuan bisa menjadi panutan kami, maka tuan menjadi pemimpin kami, tetapi jika tuan menjadi korban kesombongan, menjauhlah dari kami dan bawa pergi sifat sombong tuan itu (yaitu, kami tidak lagi berhubungan dengan tuan).”[11]
“Kesetiaan”, dalam kamus Arab Pagan, tidak berarti kepatuhan terhadap pemimpin mereka, tetapi kesetiaan terhadap sesama teman; dan makna ini dekat dengan pengertian hubungan keluarga (kinship). Keluarga dan suku, termasuk orang lain yang tinggal di bawah perjanjian perlindungan suku tersebut, adalah suci dan mereka, baik perseorangan maupun bersama, harus melindungi. Kehormatan menuntut seseorang untuk membela sukunya sendiri sekuat tenaga.[12]
Tidak ada pajak yang dikumpulkan untuk tujuan politik dan administrasi negara. Namun demikian, terdapat pula iuran yang dikumpulkan oleh suku-suku tertentu sebagai dana untuk menghias Ka’bah dan menyambut ibadah haji.[13] Salah satu kontribusi penting Muhammad adalah menyempurnakan alat-alat negara yang tentu saja pada masanya masih mempunyai bentuk yang sederhana.
Sebagaimana yang telah disebutkan, orang-orang Arab, meskipun sebagian saja, berada di bawah pengaruh lembaga kesukuan tertentu. Oligopoli perdagangan memang memungkinkan adanya lembaga seperti al-Mala. Hal ini sangat berbeda dengan lembaga kerajaan meskipun di sana juga terdapat masyarakat dagang.
Orang-orang Arab sangat sadar dengan kedudukan penting mereka sebagai penyedia (suplier) barang-barang yang banyak permintaannya di Bizantium dan berbagai negara di Asia dan Afrika. Muhammad besar dalam lingkungan politik seperti ini, sehingga dia harus hati-hati dalam upayanya mengalahkan musuh-musuhnya. Kepiawian Muhammad dalam politik membawanya ke puncak kemenangan. Ini adalah salah satu alasan mengapa para pedagang Mekkah, yang biasanya tidak menaruh perhatian kepada agama, menjadi musuh besar Muhammad.
d. Sistem Kepercayaan
Berhala-berhala yang disembah di Mekkah dan sekitarnya tidak menjadi bagian penting bagi masyarakat Mekkah, karena berhala-berhala itu didatangkan dari masyarakat pertanian Syiria.[14] Untuk itu maka bisa dikatakan bahwa pedagang-pedagang Mekkah, karena tidak mengenal adanya bentuk penyembahan dari peradaban pertanian, tidak bergitu terikat dengan tuhan-tuhan yang secara formal mereka sembah, dan mereka pun tidak pernah menganggapnya sebagai pengalaman spiritual yang mendalam. Demikian pula dengan masyarakat nomad; mereka pada dasarnya tidak taat dengan penyembahan berhala karena mereka lebih menghargai apa yang disebut dengan humanisme suku. Namun mengapa ketika Muhammad mulai menyebarkan agama barunya ia mendapat banyak tantangan?
Dr. Taha Husain, sarjana Mesir terkemuka dalam karyanya, al-Fitnah al-Kubra, menjelaskan hal tersebut. Menurut dia, sebab perlawanan yang dilakukan orang-orang Arab terhadap perjuangan Muhammad adalah karena misi Muhammad untuk menjadikan masyarakat Arab menjadi lebih adil, egaliter dan anti penindasan. Secara lengkap, penjelasan Taha dalam masalah ini sebagai berikut :
“Saya yakin bahwa jika beliau (Muhammad) hanya mengajarkan ke-Esaan Tuhan tanpa menyerang sistem sosial dan ekonomi, tidak memperdulikan perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang tertindas, budak dan majikan, dan tidak melarang riba, serta tidak mengajurkan orang-orang kaya untuk mendermakan kekayaan mereka kepada orang-orang-orang miskin dan yang membutuhkan, mayoritas suku Quraiys akan menerima agamanya, karena sebaian besar dari mereka tidak sungguh-sungguh dalam menyembah berhala dan tidak mempunyai hubungan emosional dengan berhala-berhala tersebut. Mereka tidak yakin dengan berhala-berhala itu dan menyembahnya hanya untuk permainan saja. Sebenarnya mereka memanfaatkan berhala itu untuk mempertahankan pengaruh mereka terhadap orang-orang Arab.”[15]
Gibb, Islamisis, sangat setuju dengan pendapat itu. Dia mengatakan bahwa, perlawanan yang dilancarkan orang Arab Mekkah bukan disebabkan sikap keras kepala mereka akan ajaran yang disampaikan oleh Nabi, namun karena alasan-alasan ekonomi dan politik. Mereka khawatir ajaran yang disampaikan Nabi bisa mengancam kemakmuran ekonomi mereka, dan khususnya ajaran monoteisme murninya bisa menghancurkan aset ekonomi yang mereka kuasai. Di samping itu, mereka juga sadar bahwa pengakuan mereka terhadap ajaran Muhammad akan memunculkan suatu bentuk kekuasaan politik baru dalam masyarakat oligarkhi yang mereka bentuk selama ini.[16]
Di samping sistem kepercayaan mayoritas masyarakat Arab Mekkah yaitu yang menjadikan berhala sebagai sesembahan, terdapat arus keagamaan minoritas tetapi cukup militan (baca : taat) dalam berpegang pada prinsip-prinsip kepercaraannya itu. Inilah yang dikenal dengan kelompok Hanifiyyah (agama Hanif). Para pengikutnya disebut dengan al-Hunafa. Kelompok keagamaan ini berpegang pada tradisi millah Ibrahim yang diwaruskan secara turun temurun. Setiap orang Arab yang melakukan ibadah atau berkhitan, dinamakan Hanif untuk mengingatkan bahwa ia menganut agama Nabi Ibrahim a.s.[17]
Al-Hanafiyyah dipeluk oleh sebagian para tokoh, cerdik-cendekia, orang-orang yang tercerahkan dan para penyair. Termasuk tokoh di situ adalah kakek Muhammad, Abdul Munthalib. Mereka dipandang relatif lebih berbudi pekerti luhur dan terpelajar serta prinsip teologis mereka menolak menyembah berhala dan mengajak kepada ketauhidan.[18]
Keberadaan mereka mempengaruhi sistem kepercayaan masyarakat Arab Mekkah berikutnya. Bahkan, ada yang berpendapat, bahwa fenomena al-Hunafa tersebut merupakan langkah awal bagi munculnya dakwah Islam.[19] Muhammad termasuk orang yang dibesarkan di lingkungan ini, sehingga tidak heran jika saat Muhammad tampil sebagai Rasul, kelompok inilah yang menjadi pendukung utamanya.
e. Revolusi Qur’ani
Sebelum Islam tampil dalam panggung sejarah, hukum suku primitif dipakai dalam lapangan ekonomi, sosial dan moral. Dengan tidak adanya hukum tertulis, kesepakatan suku menjadi pegangan masyarakat. Islam, yang tampil dalam panggung sejarah setelah Mekkah mengalami transformasi ekonomi, menyediakan masyarakat tersebut akan hukum tertulis mengenai berbagai masalah, baik sosial maupun ekonomi. Bahkan Islam juga mempunyai hukum kriminal (jinayat) yang dalam banyak hal, mirip dengan hukum kriminal masyarakat suku. Namun, tidak seperti halnya praktek terdahulu, hukum kriminal Islam bukan hanya semata-mata kebiasaan balas dendam (qishash), namun menjadi hukum yang menuntut adanya pembuktian terhadap setiap tindak kejahatan baik melalui pembuktian tidak langsung (circumstantial evidence) atau saksi mata.[20]
Di dalam al-Qur’an juga ditekankan bahwa dalam transaksi ekonomi harus dilakukan secara tertulis. Al-Qur’an juga menjelaskan aturan mengenai warisan, perceraian, perkawinan dan sebagainya. Fakta bahwa al-Qur’an juga mengajari bangsa Arab kapan dan bagaimana mereka memasuki rumah orang, menunjukkan betapa masih sangat terbelakangnya mereka dalam berbudaya.
Dari beberapa fakta tekstual di atas, nampak jelas bahwa al-Qur’an membawa misi perubahan secara radikal atas struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada dalam masyarakat Arab. Penting untuk digaris bawahi, meskipun Islam menjadi ideologi dan weltanschauung bagi bangsa Arab, ia juga mengajarkan moralitas yang mempunyai arti penting historis. Hubungan lelaki dan perempuan yang bebas yang menjadi warisan kebudayaan Arab juga dibatasi, dan perempuan diajarkan bagaimana seharusnya berpakaian dan berdandan secara wajar.
Secara rinci berbagai persoalan di atas memang direspon al-Qur’an di Madinah, tetapi satu hal yang penting untuk didiskusikan dalam konteks revolusi sosial masyarakat Mekkah adalah masalah perbudakan.[21] Sumber-sumber yang ada mengenai masyarakat Mekkah pra-Islam menunjukkan bahwa budak-budak itu tidak diperlakukan secara baik-baik, terutama karena mereka berasal dari luar Arab. Islam, meskipun tidak menghapuskan perbudakan, berusaha memperbaiki nasib mereka dengan tujuan mententramkan mereka. Muhammad mengajarkan, bahwa pembebasan budak adalah panggilan agama. Menurut al-Qur’an, membebaskan budak bisa menghapus berbagai macam dosa seperti pembunuhan yang tidak sengaja, melanggar sumpah (Q.S. al-Maidah : 89), membatalkan thalaq yang diucapkan karena menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya sendiri (Q.S. al-Hasyr : 3). Al-Qur’an juga mengalokasikan sebagian dari zakat untuk memerdekakan budak (Q.S. at-Taubah : 60)
f. Kontribusi Muhammad
Setelah bertahun-tahun berkontemplasi di Goa Hira’, Muhammad sampai pada kesimpulan yang, setelah diterjemahkan dalam kenyataan, mengubah masyarakat Mekkah secara total. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Muhammad adalah Q.S. al-‘Alaq : 1-5). Arti penting ayat ini adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana telah mengajarkan arti pentingnya pena di tengah-tengah masyarakat Arab yang sangat minim orang yang bisa membaca dan menulis.[22]
Setelah menerima wahyu, Muhammad tergerak untuk segera melakukan gerakan mengentaskan orang-orang Mekkah dari keterbelakangan serta membawa mereka menuju jalan maju dengan memberi mereka hukum yang baku serta perangkat organisasional yang layak untuk memenuhi kebutuhan baru mereka. Apa yang diinginkan Muhammad Rasulullah bukanlah semata-mata menata praktik-praktik kuno suku, tetapi perubahan yang menyeluruh. Dengan ajaran yang cukup mendalam dan fundamental “tiada tuhan selain Allah”, Muhammad berusaha membangun persatuan kaum muslim, tanpa batas-batas kesukuan.
Agama baru yang dibawa Nabi Muhammad tidak diragukan lagi berkomitmen untuk membangun keadilan sosial, dan mencabut akar-akar konflik di dunia.[23] Nabi secara konsisten berjuang untuk menghilangkan penyakit sosial di Mekkah dan membangun keadilan sosial. Agenda revolusioner Nabi di Mekkah antara lain; pertama, Nabi menekankan kesatuan, yaitu menghilangkan sekat-sekat kesukuan. Ajaran ini sangat penting untuk masyarakat yang ingin maju. Penekanan akan kebangsaan yang sama dalam bahasa, kebudayaan dan agama yang berbeda seperti pada masa kita sekarang ini bisa menjadi contoh pentingnya ajaran di atas bagi masyarakat Mekkah.
Kedua, Muhammad pada periode Mekkah, menekankan persamaan derajat di antara para umatnya tanpa memandang status sosial atau asal-usul suku. Konsep persamaan derajat ini menjadi magnet yang sangat kuat bagi orang-orang yang – karenya satu atau hal lain – dipinggirkan oleh kepentingan orang-orang mapan dalam masyarakat Mekkah. Muhammad juga membela kelompok orang-orang yang, meskipun berasal dari suku yang sama, merasa diabaikan oleh mereka.[24]
C. HIJRAH : MOMENTUM MEMBANGUN PERADABAN BARU
a. Rencana Hijrah ke Madinah
Ketika dakwah Nabi kurang berhasil di Mekkah, bahkan Nabi banyak menerima cemoohan dan penganiayaan, Nabi berfikir untuk pindah ke suatu tempat yang di situ ia bisa melakukan misinya secara sempurna secara lebih efektif dan aman. Ia kemudian memilih Madinah, yang sebelumnya bernama Yasrib. Sebelum pilihannya untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah dia terlebih dahulu mengirim utusan ke beberapa sahabat ke Absyinia. Yang menurut Thabari[25], mereka terdiri dari sebelas orang laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya adalah Utsman bin Affan dan istrinya Ruqayyah, putri Nabi. Absyinia adalah negara Kristen di bawah pengaruh Romawi. Ada beberapa motif yang mendorong Muhammad mengirim beberapa pengikutnya ke Absyinia, ia menjajaki kemungkinan membangun hubungan dengan bangsa Romawi, untuk berkolaborasi melumpuhkan kekuatan Mekkah. Tetapi pada sisi lain hal itu bisa menjadi bomerang, karena mereka bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai Mekkah. Sehingga pada akhirnya Muhammad membatalkan negosiasi politik dengan Romawi mengingat resiko yang bisa muncul.
Yang perlu mendapat cacatan dalam sejarah Islam adalah bahwa migrasi atau hijrah ini tidak memmpunyai arti penting bagi perjuangan politik Muhammad. Kaum migran ke Absyinia bahkan tidak mendapat apa yang diperoleh oleh kaum migran ke Madinah pada masa berikutnya, alasannya karena Absyibnia, bagaimanapun juga, adalah negeri non Arab dan Kristen sabagai agama resminya. Muhammad tidak bisa menguasai kawasan tersebut dengan agama barunya, yang pada dasarnya adalah produk masyarakat Arab yang sedang berubah. Muhammad tidak mau menetap di suatu tempat kecuali kalau ia bisa menguasai kawasan itu dengan ajaran kenabiannya terlebih lagi, Muhammad ingin bangsa Arab bersatu dan muncul sebagai sebuah kekuatan. Dengan sendirinya, wajar jika hijrah ke Absyinia tidak bisa nencapai tujuan-tujuan tersebut oleh karena itu, migrasi itu hanya bersifat ekspedisi, penjajakan yang dimaksudkan untuk memberi kesan baik di kerajaan tersebut dan menegaskan bahwa Islam adalah agama saudara kandung Kristen.
Hijrah ke Madinah adalah masalah yang berbeda sama sekali dengan hijrah ke Absyinia. Setelah gagal mengajak orang-orang Mekkah memeluk Islam dan membangun masyarakat baru yang lebih adil dan egaliter, Muhammad mulai berfikir untuk membangun sebuah pusat gerakan (center for movement) di tempat lain di daratan Arab, yang dari tempat itu dia bisa menyebarkan agamanya dan melaksanakan strateginya untuk menundukkan orang-orang Mekkah. Selama musim haji, ketika orang-orang dari berbagai penjuru datang ke Mekkah, ia mulai membangun koalisi dengan mereka. Dalam hal ini, Hamidullah menulis, “Selama musim haji, kita melihat Nabi di Mina, bergerilya dari satu tenda ke tenda yang lain mengajak mereka untuk mempercayainya sebagai utusan Tuhan (Rasulullah) dan membantunya menyebarkan Islam di bawah perlindungan mereka, dan menjanjikan kepada mereka bahwa tidak lama lagi mereka akan menjadi penguasa atas kedua kawasan besar dalam sejarah, yaitu kerajaan Bezantium dan Sasania.”[26]
Menurut Ibn Hisyam,[27] Nabi menemui sekitar lima belas suku, namun tidak membuahkan hasil. Kemudian Muhammad menemui enam orang suku Khazraj dan pertemuan itu memberi jalan terang terjadinya negosiasi politik dari suku tersebut. Ajakan Nabi kepada suku Khazraj untuk membangun koalisi di masa mendatang mendapat sambutan yang positif karena beberapa hal; pertama, suku Khazraj sedang mencari bentuk agama yang berasal dari wilayah setempat, yang bisa merefleksikan aspirasi dan cara hidup mereka: sebuah agama dengan kitab suci yang bisa membawa mereka menuju kebudayaan yang lebih tinggi. Kedua, orang-orang Madinah ini tidak suka terhadap dominasi Yahudi tapi mereka tidak bisa melawannya meskipun secara statistik jumlah kaum Yahudi lebih sedikit.
b. Kondisi Sosial Politik Madinah
Montgomery Watt, dalam bukunya Muhammad Propet and State Man, memberi penjelasan yang cukup representatif tentang kondisi sosial politik Madinah sebelum peristiwa hujrah. Watt menulis bahwa keadaan di Madinah berbeda dengan keadaan di Mekkah Di Mekkah dan daerah sekitarnya tidak ada lahan pertanian, konsekuensinya eksistensi kota itu tergantung pada perdagangan, sebaliknya Madinah adalah sebuah oasis pertanian. Sebagaimana Mekkah, Madinah juga dihuni oleh berbagai klan dan tidak oleh kesukuan yang tunggal, namu berbeda dengan Mekkah, Madinah merupakan perkampungan yang selalu disibukkan oleh konflik horisontal yang sengit dan anarkis antara kelompok suku-suku terpandang, di antaranya Aus dan Khazraj. Konflik yang berkepanjangan itu membuat rakyat kecil selalu merasa tidak aman dan menimbulkan permasalahan eksistensial di Madinah. Selanjutnya, berbeda dengan Mekkah, Madinah senantiasa mengalami perubahan sosial yang meninggalkan buntuk kemasyarakatan absolut model Badui. Kehidupan sosial Madinah secara berangsur-angsur diwarnai oleh unsur kedekatan ruang dari pada unsur kekerabatan. Yang jelas, Madinah memiliki sejumlah warga Yahudi yang sebagian besar pengikutnya lebih simpati terhadap monotheisme.[28]
d. Membangun Kekuatan di Madinah
Setelah perjanjian Aqabah II (awal Juli 622 M), Nabi mendadapat jaminan perlindungan oleh orang-orang Madinah melalui perjanjian itu, Nabi dan para pengikutnya memulai hijrah ke Madinah. Peristiwa hijrah tersebut adalah cerita paling dramatis sepanjang sejarah umat muslim. Komunitas muslim bermula dan tumbuh sejak dari hijrah ini dan tahun perjalanan itu, yang bersesuaian dengan tahun 622 Masehi ditetapkan sebagai tahun pertama muslim (tahun Hijriah). Bagi seorang muslim kata hijrah ini tidak hanya berarti perpindahan tempat tetapi juga dapat diartikan sebagai transisi dari pagan dunia menuju dunia muslim, perpindahan dari masyarakat kekerabatan menuju masyarakat yang dibangun di atas dasar keyakinan agama.
Di Madinah, Nabi bersama para pengikutnya yang hijrah (Muhajirin) mencapai sebuah kesepakatan politik yang resmi dengan para pengikutnya dari tuan tanah Madinah (Anshar). Kesepakatan politik itu melibatkan pula kelompok Yahudi yang secara ekonomi politik menguasai Madinah selama ini. Peristiwa ini sebagai momentum yang sangat krusial dalam membangun komunitas Madinah yang terstruktur dan teroganisir. Kesepakatan ini tertuang dalam perjanjian tertulis yang dikenal dengan istilah Piagam Madinah (Mitsaq Madinah). Isi perjanjian yang sangat fundamental adalah komunitas Madinah sepakat membentuk sebuah kelompok politik (political community) yang dinamakan ummah. Isi perjanjian lainnya antara lain, warga Madinah yang berasal sari berbagai agama dan golongan harus bertindak sebagai satu kesatuan untuk mempertahankan eksistensi Madinah dari gangguan pihak luar khususnya suku Quraisy Mekkah. Tidak satupun kelompok yang diperbolehkan membentuk perjanjian perdamaian yang terpisah. Masing-masing kelompok tidak diperbolehkan membantu pihak Mekkah dalam hal apapun. Perjanjian ini juga menegaskan bahwa setiap perselisihan antar suku harus melibatkan Nabi sebagai pihak penengah.[29]
Bagi Nabi Muhammad perjanjian tersebut merupakan langkah awal untuk membentuk sebuah ikatan komunitas antara seluruh kelompok yang ada, untuk menegakkan otoritas dan eksistensi kekuasaan, dan pada akhirnya untuk membentuk koalisi besar kekuatan-kekuatan politik yang terkontrol dari kekuasaannya. Walaupun dalam konsolidasi kekuatan itu Muhammad mendapat riak-riak pengkhianatan dari kelompok Yahudi. Mereka menentang legitimasi Muhammad sebagai Rasul yang sekarang menjadi pemimpin politik Madinah. Di tengah perlawanan dari kelompok Yahudi ini al-Qur’an mengecam Yahudi lantaran mereka mengkhianati perjanjian dan menerangkan bahwa Ibrahim merupakan Nabi par-excellence, yang mengajarkan agama yang hanif, sebagai pembangun ka’bah dan sebagai bapak bangsa Arab. Al-Qur’an juga menerangkan bahwa Muhammad diutus untuk menyelamatkan kemurnian monotisme Ibrahim. Jadi dalam hal ini, Muhammad melampaui warisan skriptural Yahudi dan Kristen.
Pada akhirnya kelompok penghianat Yahudi tersebut dapat dikalahkan, mereka terusir dari Madinah dan properti yang mereka kuasai selama ini diambil alih kepemilikannya oleh Muhammad. Setelah itu, Muhammad menjadi pemimpin yang paling otoritatif atas pemerintahan Madinah.
Pada tahun-tahun berikutnya Muhammad berusaha keras untuk menciptakan sebuah masyarakat yang didasarkan pada kesamaan agama, ceremony, etnis dan hukum –sebuah komunitas yang melampaui struktur sosial tradisional yang berbasis pada keluarga klan dan suku- dan sebuah komunitas yang menyatukan berbagai kelompok kepentingan (interest group) menjadi sebuah masyarakat Arab baru. Program itu sendiri berlangsung dalam beberapa tahapan.
e. Membentuk Pranata Sosial, Hukum, Dan Politik
Pada tahap ritual dan keagamaan, eksistensi komunitas muslim Madinah diekspresikan melalui sejumlah ritual dan hukum-hukum sosial sebagai mana yang dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an. Mereka terdiri dari lima prinsip Islam, Yatu sahadat, salat, puasa dan haji. Kelima prinsip Islam ini merupakan ritual publik yang jika diselenggarakan secara bersama-sama akan menguatkan kesadaran kolektifitas komunitas muslim.
Al-Qur’an juga menetapkan norma-norma sosial dari komunitas baru, bahkan ajaran-ajaran al-Qur’an mengenai hukum keluarga menggambarkan sebuah revolusi sosial dan metafisika yang sangat mendasar.[30] Dalam kondisi kekacauan institusional dan ketidakpedulian individual terhadap kewajiban keluarga, ajaran-ajaran al-Qur’an berusaha untuk memberi solusi atas kondisi itu. Aturan-aturan Qur’ani menentang perzinahan demi kelangsungan kehidupan sebuah kelompok, demi kelangsungan heriditas biologis, dan demi menciptakan ikatan perkawinan antara beberapa keluarga.
Al-Qur’an secara lebih khusus melindungi status perempuan dan anak-anak, yang mana mereka tidak lagi dipandang sebagai sekedar binatang peliaraan melainkan sebagai individu dengan hak-hak atas dirinya sendiri demi kebaikan pada pihak perempuan, perkawinan dipandang sebagai ikatan yang mengandung nilai-nilai sosial dan keagamaan. R.A. Nicholson[31] dalam bukunya A Literary History of the Arabs mengemukakan bahwa secara umum kedudukan mereka (perempuan) cukup tinggi dan pengaruh mereka cukup kuat. Mereka bebas memilih suami mereka, dan jika diperlakukan tidak baik mereka bisa kembali ke keluarganya. Mereka tidak dianggap sebagai budak atau barang bergerak, namun sebagai pendamping yang sejajar. Al-Qur’an, seperti tulis Nicholson, juga menganugerahkan sejumlah hak-hak tertentu pada perempuan yang tidak pernah mereka nikmati pada Arab pra Islam. Mereka diberi hak mewarisi sampai seperempat dari harta pustaka suaminya dan dalam kasus perceraian mereka berhak melakukan gugat cerai.
Gagasan mengenai keluarga merupkan inti dari konsepsi muslim tentang ummah. Ideal-ideal keluarga mengukuhkan kembali konsep individualitas melalui penekanan art pentingnya keagamaan individu sebagai makhluk Tuhan dari pada sekedar obyek dalam sistem masyarakat klan, dan melalui penekanan pertanggungjawaban individual terhadap hubungan moral dalam keluarga. Ajaran-ajaran al-Qur’an, yang sangat kontras dengan pandangan pagan, mengukuhkan makna keutuhan makna dunia, kesatuan masyarakat, dan integritas pribadi sebagai aspek-aspek dari pandangan transendensi realitas yang tunggal.
Di samping hukum-hukum dan moral-etik keluarga, al-Qur’an juga memberi landasan hukum dan moral etik terhadap transaksi bisnis. Moral-etik itu antara lain anjuran untuk bersikap jujur dan adil dalam relasi ekonomi, menyampaikan kesaksian secara jujur, dan tidak memungut keuntungan riba[32]. Moral-etik itu juga diberikan untuk mengatur peperangan, perlakuan terhadap tawanan dan distribusi harta rampasan perang. Terdapat sebuah larangan moral, seperti pengharaman perjudian dan penggunaan minuman keras bisa jadi hal itu disebabkan karena seluruh praktek itu berkaitan erat dengan paganisme.
Jadi, satu dimensi dari kerja Muhammad adalah untuk mengkomunikasikan keyakinan bersama, norma-norma sosial yang bersifat umum, dan ritual umum yang merupakan dasar komunitas yang melampaui batas-batas klan dan suku. Aspek lain dari program kerja gerakan Muhammad di Madinah adalah untuk mendirikan konfederasi politis yang akan memperluas proyek pembaharuan Islam sampai ke Mekkah dan ke seluruh wilayah Arabia lainnya. Hal ini merupakan bagian dari misi keagamaan Muhammad bahkan itu juga merupakan kebutuhan politis.
D. PENUTUP
Singkat cerita, setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan, Mekkah akhirnya berhasil ditaklukkan oleh kekuatan Madinah. Peristiwa itu dikenal dalam sejarah Islam sebagai fathu al-Makkah. Setelah Mekkah takluk, kekuasaan Islam meliputi seluruh Jazirah Arab.
Agama Islam yang dibawa Muhammad telah memenui semua fungsi bagi transformasi kebudayaan primitif menuju kebudayaan maju. Islam menjadi kekuatan kohesif yang menggerakkan solidaritas sosial, menghormati kekuasaan dan hak-hak orang lain, dan menciptakan loyalitas baru. Kemudian yang penting bagi Arabia tak bernegara (stateless Arabia) adalah ia telah membangun aturan hukum , dan kegeniusan (fathanah) Muhammad dalam hal ini tak bisa diingkari. Ia menegakkan masyarakat dengan hukum sipil dan hukum pidana sekaligus. Hukum-hukum ini, tentu saja, didasarkan pada adat-istiadat sosial dan praktik suku, dan Muhammad mensistematisasikannya dan yang lebih penting dari itu semua, praktik hukum dilaksanakan dengan adil dan jujur.

CATATAN AKHIR
[1] Joel Carmichael, The Shapping of The Arab, (London : ttp., 1969), hlm. 21. Bandingkan dengan Asghar Ali Engineer, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, (Yogyakarta : Insits & Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 59.
[2] H.A.R. Gibb, Muhammadanism, (London : Oxford University, 1919), hlm. 17
[3] Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, (London : Oxford, 1953), hlm. 3
[4] Lihat Ibn Khadun, Muqaddimah, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 45
[5] Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 210
[6] Ketika saudagar-saudagar kaya membentuk kerjasama intra-suku, golongan masyarakat yang terpinggirkan juga mencoba untuk asosiasi sendiri yang tidak mengenal batas-batas kesukuan. Lembaga itu kemudian bernama Hilf al-Fudul. Lihat Asghar Ali Engineer, Asal-Usul dan Perkembangan Islam … h. 75
[7] Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy : Agama, Budaya, Kekuasaan, (Yogyakarta : LkiS, 2002), hlm. v-vi
[8] Tentang bagaimana hegemoni terbentuk lihat : Ibid., hlm. 1-21
[9] Secara Normatif suku Quraisy merasa paling otoritatif menjadi pemimpin karena terdapat hadis nabi “al-aimmah min quraisyin”. Penjelasan lebih lanjut tentang itu liihat Ahmad bin Yahya al-Baladziri, Ansab al-Asyraf, juz I, (Kairo : Dar Ma’arif, 1959), hlm. 583-584
[10] Lihat Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy … hlm. 72
[11] R.A. Nicholson, a Literary History of the Arab, (New York : Cambridge, 1907), hlm. 83.
[12] Ibid.
[13] Ibid., h. 66
[14] Ibid.
[15] Taha Husein, Al-Fitnah al-Kubra, jilid I, (Beirut : Dar al-Fikr, tth), hlm. 11
[16] H.A.R. Gibb, Muhammadanism … hlm. 18
[17] Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy …, hlm. 168
[18] Abdul Aziz Salim, Dirasat fi Tarikh al’Arab : Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, (t.k. : Mu’assasah Syabab al-Jami’ah al-Iskandariyah, t.t.), hlm. 436
[19] Salah seorang yang berpendapat demikian adalah Burhanuddin Dalllau dalam bukunya Jazirah Arab Qabla al-Islam. Lihat Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy …, hlm. 170
[20] Ibid., h. 86-91
[21] Ibid., h. 115-116
[22] Pada masa awal Islam, hanya tujuh puluh orang suku Quraisy yang bisa membaca dan menulis. Bahkan Nabi sendiri dalam kepercayaan sebagian kaum Muslim adalah ummi, yaitu tidak bisa membaca dan menulis.
[23] Asghar Ali Engineer, Asal-Usul dan Perkembangan Islam … h. 124
[24] Lihat Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta : LkiS, 2000) hlm. 20; bandingkan dengan Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 7-9
[25] Lihat al-Thabari, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, (Kairo : Dar al-Fikr, tth), hlm. 89
[26] Muhammad Hamidullah, Muhammad Rasulullah, (Paris : t.p., 1974), hlm. 54.
[27] Pendapat Ibn Hisyam diambil dari Ali Asghar Ali Engineer, Asal-Usul dan Perkembangan Islam … h. 139-140
[28] Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Imat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 37-38.
[29] Ibid., h.39-40.
[30] Ibid., h. 42.
[31] R.A. Niscolson, A Literary History …, hlm. 87-88
[32] Fazlur Rahman menguraikan tentang riba dalam bukunya Islamic Methodology in History, (Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965) sebagai berikut : Al-Qur’an … menjelaskan alasan yang sesungguhnya di balik pelarangan riba dengan mengatakan bahwa riba tidak dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi komersial karena ia merupakan suatu proses yang dengannya modal berlipat ganda secara tidak wajar. Hadis historis mengkonfirmasi hal ini dengan memberi informasi kepada kita behwa riba, dalam kenyataannya, merupakan praktek orang-orang Arab pra-Islam. Tetapi kita telah melihat ketegasan moral yang dengannya opini legal telah memasukkan berbagai aktivitas dalam definisi riba dengan merumuskan suatu prinsip umum bahwa “setiap pinjaman yang memberi keutungan kepada kreditur adalah riba”. Dalam nada yang sama dikatakan bahwa riba secara eksklusif berlaku terhadap bahan-bahan makanan, emas, dan perak, serta tidak berlaku terhadap hal-hal lainnya. Ini secara tegas menyiratkan arti bahwa, sebagai contohnya, sejumlah kapas boleh dipinjamkan dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian ia harus dikembalikan dalam jumlah yang lebih banyak selaras dengan kehendak kreditor. Hal semacam ini, tentu saja, bertentangan dengan prinsip umum yang baru saja dikutip. Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa yang hendak diformulasikan secara kaku adalah penafsiran moral yang progresif terhadap larangan al-Qur’an tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baladziri, Ahmad bin Yahya, Ansab al-Asyraf, juz I, Kairo : Dar Ma’arif, 1959
Al-Thabari, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, Kairo : Dar al-Fikr, tth.
Carmichael, Joel, The Shapping of The Arab, London : ttp., 1969
Engineer, Asghar Ali, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Yogyakarta : Insits & Pustaka Pelajar, 1999.
__________________, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003
Gibb, H.A.R., Muhammadanism, London : Oxford University, 191
Hamidullah, Muhammad, Muhammad Rasulullah, (Paris : t.p., 1974), hlm. 54.
Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta : LkiS, 2000
Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam : Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jakarta : Paramadina, 1999
Husein, Thaha, Al-Fitnah al-Kubra, jilid I, Beirut : Dar al-Fikr, tth
Karim, Khalil Abdul, Hegemoni Quraisy : Agama, Budaya, Kekuasaan, Yogyakarta : LkiS, 2002
Khadun, Ibn, Muqaddimah, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Imat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000
Nicholson, R.A., a Literary History of the Arab, New York : Cambridge, 1907
Rahman, Fazlur, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965
Salim, Abdul Aziz, Dirasat fi Tarikh al’Arab : Tarikh al-‘Arab Qabla al-Islam, t.k. : Mu’assasah Syabab al-Jami’ah al-Iskandariyah, t.t.
Watt, Montgomery, Muhammad at Mecca, London : Oxford, 1953


Selengkapnya...