Selasa, 11 Mei 2010

Teori Sosial Kritis sebagai Metode Tafsir Sosial Muhammadiyah



Oleh: Pradana Boy ZTF

Pendahuluan
            Ketika pertama kali lahir tahun 1912, Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang tidak hanya terilhami oleh kenyataan tidak murninya praktik ajaran Islam di tanah air. Di luar persoalan ini, sebenarnya Muhammadiyah juga lahir karena terdapat kondisi sosial yang sangat timpang. Sekadar menyebut contoh, praktik dualisme pendidikan, yakni pendidikan Belanda yang sekular untuk kaum priyayi dan anak-anak Belanda, di satu sisi, dan pendidikan pesantren yang sangat tradisional untuk penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain, merupakan contoh ketimpangan sosial yang terjadi itu.
            Tafsir sosial yang dilakukan oleh Kiai Dahlan atas semua persoalan pada masanya sangat lugas. Penerjemahan teks-teks Qur’ani ke dalam praksis sosial dilakukan oleh Kiai Dahlan dengan sangat tangkas. Barangkali karena Kiai Dahlan tidak banyak berteori, sehingga sementara pengamat menggolongkannya sebagai man of action dan bukan man of thought. Sampai batas-batas tertentu, ungkapan ini tentu benar. Tetapi secara lebih mendasar apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan bukan berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam terhadap kondisi yang dihadapi. Nah, refleksi kritis terhadap realitas sosial yang terjadi dan kemudian mencarikan solusi yang tepat untuk mengentaskannya inilah yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam ilmu sosial. Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini banyak diintrodusir, dianggap perlu dipertimbangkan sebagai sebuah pendekatan baru dalam metode tafsir sosial Muhammadiyah.
            Muhammadiyah memihak pada domain sosial yang sangat luas. Penerjemahan teks-teks Qur’an menjadi praksis sosial yang memihak merupakan sebuah ciri penting Muhammadiyah masa awal. Saya kira, tidak seorangpun yang bisa membantah kenyataan bahwa Muhammadiyah lahir dengan pemihakan yang luar biasa terhadap realitas sosial yang terwujud dalam kemiskinan, ketertindasan, kurang atau rendahnya pendidikan. Selama bertahun-tahun lamanya semangat ini menjadi spirit utama gerakan Muhammadiyah, sehingga kehadiran Muhammadiyah sebagai sebuah mesin yang mampu melakukan transformasi sosial mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari berbagai kalangan. Contoh transformasi itu, misalnya, terwujud dalam partisipasi Muhammadiyah menciptakan kelas-kelas sosial baru yang mungkin tidak akan pernah terwujud jika Muhammadiyah tidak hadir dengan nilai-nilai barunya. Kuntowijoyo bahkan meyakini bahwa sulit dibayangkan akan lahir kelas-kelas sosial baru dalam masyarakat Indonesia, jika Muhammadiyah tidak hadir dengan menawarkan modernisasi sistem pendidikan di Indonesia yang dualistik di atas. Karena sistem pendidikan sebagaimana yang disebut di atas, justru melanggengkan ketimpangan sosial.

Kritik terhadap Gerakan Sosial Muhammadiyah
            Belakangan ini, Muhammadiyah sering menuai kritik sebagai gerakan sosial yang mulai terjangkit penyakit elitisme. Perkembangan Muhammadiyah yang kian pesat dari hari ke hari dalam banyak hal menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi, termasuk orientasi gerakan sosialnya. Jika pada mulanya, amal usaha Muhammadiyah, khususnya dalam bidang sosial lebih banyak “berbicara” pada bidang-bidang sosial yang berorientasi voulentaire, kini hamper bisa dipastikan bahwa seluruh amal usaha Muhammadiyah berorientasi pada persoalan ekonomi dan samapi batas-batas tertentu cenderung profit oriented. Hal itu tidak sepenuhnya salah, karena sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah harus profesional, dan profesionalitas itu antara lain harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk seperti itu, sedangkan pola-pola volunteerism tentu memiliki potensi yang kontra produktif dengan kenyataan tersebut. Tetapi hal itu sekaligus menimbulkan dilema: pada satu sisi Muhammadiyah memang harus terus mengembangkan profesionalitasnya, tetapi yang juga harus diingat adalah, jangan sampai profesionalitas yang hendak dicapai itu melupakan fungsi-fungsi sosial Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan.
Secara teologis konsep amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi ciri utama Muhammadiyah, menurut Kuntowijoyo[1] ternyata memiliki dinamika internal untuk menimbulkan desakan terhadap adanya transformasi sosial secara berkesinambungan. Amar ma’ruf berarti humanisasi dan emansipasi, sementara nahiy munkar berarti upaya untuk melakukan liberalisasi. Dan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial semestinya memiliki sifat seperti di atas. Tetapi sayang, dari perspektif transformasi sosial, Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas.
Jika dikaitkan dengan teori gerakan, maka Muhammadiyah cenderung berada pada posisi peripheral, tidak ‘’Kiri’’ tidak juga ‘’Kanan’’. Maka tidak ada salahnya jika Muhammadiyah mengambil peran gerakan Kiri, bukan dalam bentuk, tetapi dalam fungsi, untuk melakukan keberpihakan ulang terhadap kaum proletar seperti pada masa-masa awal berdirinya organisasi ini. Secara umum, Kiri diartikan sebagai kelompok yang cenderung radikal, sosialis, ‘’anarkis’’, reformis, progresif atau liberal. Dengan kata lain, Kiri selalu menginginkan kemajuan (progress) yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia atas ‘’takdir sosial’’ yang dialaminya.[2]
Kelemahan Muhammadiyah dalam bidang gerakan sosial lainnya adalah pendasaran pembinaan sosial pada jenis kelamin dan usia yang pada gilirannya menjadikan Muhammadiyah seolah-olah tidak peduli dengan interest group, seperti petani, buruh, nelayan kalangan proletar lainnya. Akibatnya, Muhammadiyah seolah-olah membiarkan warganya yang menjadi buruh berbondong-bondong ke organisasi lain yang dirasa lebih aspiratif dengan kepentingannya, seperti APSI, atau petani yang ke HKTI dan sebagainya.[3]
Maka proletarisasi Muhammadiyah, nampaknya merupakan suatu persoalan yang sangat urgen untuk dilakukan dalam diri Muhammadiyah. Mau tidak mau harus diakui, bahwa apapun yang dilakukan oleh Muhammadiyah kurang menyentuh massa di kalangan grass root. Jika hal ini terus berlanjut, maka sedikit demi sedikit Muhammadiyah akan mulai kehilangan basis massa pendukungnya, khususnya dari kalangan kelas menengah ke bawah. Kecuali jika Muhammadiyah memang sudah puas dengan basis massa kalangan menengah ke atas yang saat ini dimilikinya.
Patut dicatat di sini, bahwa proletarisasi Muhammadiyah dan adopsi peran gerakan Kiri yang dimaksudkan bukan untuk membenturkan kelas menengah ke atas (kaum borjuis) dengan kelas menengah ke bawah (kaum proletar), seperti halnya gerakan Kiri ala Marxis, tetapi lebih sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi paradigma gerakan sosial Muhammadiyah yang oleh Kuntowijoyo disebut belum jelas. Dan lebih dari itu, proletarisasi Muhammadiyah dan adopsi peran gerakan Kiri dimaksudkan untuk –seperti kata Kazuo Shimogaki— melawan ‘’takdir sosial’’ yang dialami oleh sebagian besar umat Islam.

Teori Sosial Kritis sebagai Metode Alternatif
the new social movement. Proses berteologi yang selama ini lebih menganggap teologi sebagai disiplin ilmu mestinya mulai dirubah menjadi teologi sebagai sebuah gerakan, sehingga teologi merupakan kerja pedagogis kemanusiaan yang bisa berwatak pembebasan. Bahwa perubahan bukan hanya harus dilakukan oleh satu komunitas tertentu saja, melainkan juga oleh lapisan sosial lainnya, sehingga perubahan itu terjadi secara kolektif.
Globalisasi, dalam konteks ini penting dibicarakan supaya kita mengenal the New Social Movement lebih baik lagi. Ada empat hal dalam globalisasi yang memaksa kita mengkaji ulang semua, terutama berkaitan dengan apakah kesadaran teologis kita hubungannya dengan bentuk praktis the New Social Movement. Empat hal itu dapat dapat merubah tingkat kesadaran intelektual orang  yang menjadi arus luar biasa sekarang ini, yaitu: capital on the move, media on the move; people on the move, dan gagasan-gagasan revolusioner.
            Ketika globalisasi menjadi dominan, mungkin tidak ada kekuatan lokal yang survive. Globalisasi selalu mengandaikan adanya main village, padahal main village sudah tidak ada, bahkan ethnicity mulai pudar. Nasionalisme kalah dengan kapitalisme, kapital tidak mengenal nasionalisme dan bahkan tidak mengenal agama, begitu pula dengan media. Meskipun pemilik media adalah orang Islam, mialnya, bukan berarti akan terjadi Islamisasi media, walaupun persoalannya orang Islam harus punya media. Apa arti Muhammadiyah di tengah problematika yang semakin pelik ini, ketika Nasionalisme-nasionalisme sudah mulai luntur? Maka jawabannya ialah bagaimana menjadi subjek yang kritis dan kreatif serta komitmen intelektual kita menjadi imajinatif dan lebih kreatif. Tanpa imajinasi itu, tidak ada peran yang bisa kita mainkan.         




[1] Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991, h. 338.
[2] Kazuo Shimugaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1993, h. 6.
[3] Kuntowijoyo, op. cit.,  h. 266.

0 Comments: