Selasa, 11 Mei 2010

Muhammad Abduh


Riwayat Singkat
Muhammad Abduh lahir di Mesir tahun 1849. Ayahnya Hasan Khairullah berasal dari Turki. Ibunya bernama Junainah berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa yang sama dengan Umar bin Khattab.
Ketika Muhammad Abduh berusia 15 tahun ayahnya kawin lagi dan dikaruniai banyak anak. Hal ini menempatkan Abduh hidup dalam suatu keluarga yang didiami lebih dari seorang istri dan anak-anak yang berlainan ibunya. Keadaan rumah tangga semacam ini besar pengaruhnya terhadap pemikiran Muhammad Abduh tentang perbaikan masyarakat Mesir.
Muhammad Abduh dibesarkan dalam asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan sekolah tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh. Proses pendidikannya dimulai dengan belajar Al-Quran sebelum oleh orangtuanya diserahkan kepada seorang guru agama di Masjid Tanta untuk belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama dari Syekh Ahmad tahun 1862.[1]
Pada usia 16 tahun, Abduh menikah. Tidak lama kemudian, ia kembali ke Tanta setelah mendapat nasihat dari pamanya Syekh Darwis seorang penganut tarekat Sanusiyah. Setelah menyelesaikan studi di Tanta, pada tahun 1866 Muhammad Abduh melanjutkan studinya di Al-Azhar dan selesai pada tahun 1877 dengan mencapai gelar Alim.
Pada waktu kuliah di Al-Azhar, Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani dan pemikirannya sangat berkesan pada diri Muhammad Abduh.[2]
Setelah tamat dari Al-Azhar, Muhammad Abduh kemudian mengajar di almamaternya dan Darul Ulum, disamping mengajar di rumahnya. Di antara buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Maskawih, buku Muqaddimah karangan Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizote yang diterjemahkan oleh Al-Thanthawi
Ketika Jamaluddin Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879 karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Taufiq, Muhammad Abduh juga dibuang ke luar kota Cairo. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diperblehkan kembali ke Cairo dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqa’ Al-Misriyah. Pada waktu berada di bawah pimpinan Muhammad Abduh surat kabar ini tidak hanya menyiarkan berita-berita resmi tetapi juga memuat artikel-artikel tentang kepentingan nasional Mesir.
Dalam peristiwa Revolusi Urabi Pasha, Muhammad Abduh diketahui mempunyai peranan penting. Maka bersama pemimpin Mesir lainnya ia ditangkap dan diasingkan ke luar negeri pada tahun 1882. Mula-mula dibuang ke Beirut kemudian ke Paris. Pada tahun 1884 ia bersama Jamaluddin Al-Afghani menerbitkan majalah dengan nama Al-Urwah Al-Wustqa. Kemudian pada tahun 1885, Abduh kembali ke Beirut via Tunis dan mengajar di sana sampai tahun 1888. Akhirnya ia diperbolehkan kembali ke Mesir tetapi tidak dizinkan mengajar karena dikhawatirkan mempengaruhi para mahasiswanya. Ia bekerja sebagai hakim pada suatu Mahkamah lalu diangkat sebagai anggota Majelis A’la Al-Azhar. Akhirnya pada tahun 1889 ia diangkat sebagai mufti Mesir hingga wafatnya pada tahun 1905.[3]
Karya-karya Muhammad Abduh
Di antara karya-karyanya selain yang merupakan karangan sendiri terdapat juga hasil terjemahan dari bahasa Prancis. Sedangkan karyanya yang tidak sempat terselesaikannya adalah Tafsir Al-Quran yang baru terbit sebagian pada masa hidupnya dan kemudian diselesaikan oleh muridyna Muhammad Rasyid Ridha, yang pertama kali dimuat dalam majalah Al-Manar.
Buku-buku karangan Muhamad Abduh adalah Risalat At-Tauhid (1897), Al-Islam wa Al-Nasraniyah Ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyati (1920) dan Komentar (Syarah) atas buku Al-Bashair Al-Nasiriah karangan Qadi Zainuddin (1898).
Sedangkan yang berupa terjemahan adalah buku karangan filosof Inggris Herbert Spenser yang diterjemahkan dari bahasa perancis L’Education ke dalam bahasa Arab. Selain itu ada beberapa buah ceramahnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa perancis oleh Thal’at Harb dengan judul L’Europe Et l’Islam.[4]
Pemikiran Abduh dalam Bidang Politik
Di bidang politik, ia berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara seseorang dengan tanah airnya. Oleh karena itu, seseorang harus mencintai dan mempertahankan tanah airnya dengan alasan bahwa tanah air merupakan tempat kediaman yang memberikan makanan, perlindungan, dan tempat tinggal. Demikian juga bahwa tanah air tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban yang merupakan dasar kehidupan politik yang akan menghubungkan seseorang untuk bangga atau terhina karenanya.
Prinsip demokrasi harus secara bersama-sama dilaksanakan oleh rakyat dan pemerintah. Sejarah Islam telah membuktikan betapa kuatnya demokrasi dipegangi oleh kaum muslimn pada masa-masa pertama Islam. Sebagai contoh dikemukakan masa Khalifah Umar bin Khattab. Menurut pendapatnya, kalau prinsip demokrasi menjdai suatu kewajiban bagi rakyat dan pemerintah maka kewajiban pemerintah terhadap rakat ialah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bekerja dengan bebas dan dengan cara yang benar agar dapat mewujudkan kebaikan bagi dirinya dan masyarakat.[5]
Mengenai Undang-Undang Negara, Muhamad Abduh berpendapat bahwa tiap negara mempunyai Undang-undang yang cocok dengan dasar-dasar kebudayaan dan politik yang berlaku di tempat itu atas dasar perbedaan geografi, keadaaan perdagangan serta pertaniaannya. Perbedaan itu juga disebabkan karena adat kebiasaan, akhlak dan kepercayaannya. Oleh karaena itu undang-undang yang sesuai dengan suatu bangsa di suatu Negara belum tentu sesuai bagi bangsa yang lain. Maka dalam pembuatan undang-undang diperlukan upaya untuk memperhatiakn perbedaan-perbedaan di kalangan rakyat baik strata kecerdasannya maupun keadaan sosialnya. Demikian juga perlu memperhatikan adapt-istiadatnya agar para pembuat undang-undang dapat memperhatikan hubungan pekerjaan rakyatnya dengan batas-batas yang membawa manfaat dan menghindari keburukan. Dengan batas-batas yang membawa manfaat dan menghindari keburukan. dengan demikian penyususn undang-undang tidak perlu meniru pembuatan undang-undang di Negara lain.
Mengenai bentuk undang-undang dan peraturan pada umumnya bagi suatu bangsa, harus mencerminkan karakter rakyatnya sesuai dengan kebiasaan hidupnya. Kelainan peraturan baik horizontal maupun vertikal tidak lepas dari karakter tersebut. Keadaan inlah yang menjadikan mengapa kaum cerdik pandai pertama-tama harus mengusahakan untuk mengubah karakter dan menggantikan akhlak ketika mereka hendak membuat suatu peraturan yang kokoh untuk masyarakat. Jadi pendidikanlah yang terlebih dahulu diutamakan agar mereka bisa mencapai tujuan.[6]
Adapun fungsi undang-undang dikatakan hanya memelihara keadaan yang sudah ada bukan untuk mengadakan perubahan. Sedangkan perubahan adat dan akhlak suatu umat dan pengarahan kepada suatu tujuan hanya bisa dicapai dengan pendidkan bukan dengan undang-undang.[7]
Undang-undang yang menentukan suatu hukuman atas kejahatan atau pelanggaran tidak akan bisa mendidik umat untuk memperbaiki dirinya karena semua undang-undang di dunia dibuat untuk orang-orang yang menyeleweng dan berbuat salah sedangkan undang-undang yang membawa perbaikan ialah undang-undang pendidikan agama pada tiap-tiap umat.
Dengan ketiga hal tersebut yakni tanah air, demokrasi dan pertalian undang-undang dengan keadaan tanah air seperti bahasa, agama, adat dan akhlak, Muhammad Abduh telah membentangkan apa yang harus dibela oleh seorang warga Negara dan yang telah membentuk kepribadiannya sebagai manusia dan warga negara. Karena itu seorang tidak boleh mengorbankan tanah airnya, bagaimanapaun juga keadaanya dan tidak boleh mengorbankan bahasa, agama, akhlak dan tradisi bangsanya sebagaimana ia harus memegangi prinsip demokrasi dalam pemerintahan.[8] ………. (BERSAMBUNG)

[1] Abdul Sani, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 49.
[2] lihat Williard G. Oxtoby, World Relegion (Kanada: Oxford University Press, 2002), hal. 40.
[3] Menganai peran pemikiran Muhammad Abduh selama menjadi mufti , lihat Oliver Roy, Op.Cit. hal. 41.
[4] A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam ( Jakarta: pustaka Al-Husna, 1987),hal. 159-160.
[5] ibid., hal. 161
[6] ibid., hal. 162
[7] Muahammad Abduh lebih sepakat bahwa perubahan harus dilakkan dengan cara evolusi, lihat H.A.R. Gibb, Op.Cit., hal 204.
[8] A. Hanafi, Op.Cit., hal. 162.

0 Comments: